EmitenNews.com -Di era sekarang, investasi bukan lagi barang yang mewah bagi banyak orang terutama para generasi muda. Berkat kemajuan teknologi, berbagai instrumen investasi seperti reksa dana, obligasi, deposito, hingga saham kini dapat diakses dengan mudah hanya melalui ponsel. Di zaman dulu, investor harus datang ke kantor sekuritas untuk mendaftar dan membuka rekening saham.

Dari semua instrumen investasi tersebut, saham menjadi salah satu yang paling diminati karena menjanjikan imbal hasil yang tinggi, meskipun disertai risiko yang tinggi pula. Seiring meningkatnya minat masyarakat, banyak investor pemula yang ingin mulai mengenal saham dengan belajar tentang analisis fundamental sebagai langkah awal.

Apa sih analisis fundamental itu? Analisis fundamental adalah metode untuk menilai sebuah nilai intrinsik suatu perusahaan, guna mengetahui apakah harga sahamnya saat ini tergolong murah, wajar atau mahal. Analisis ini juga membantu menilai kinerja perusahaan melalui berbagai rasio seperti Return on Equity (ROE), Return on Assets (ROA), Debt to Equity Ratio (DER), Price to Book Value (PBV), dan Price to Earnings Ratio (PER).

Pendekatan berbasis analisis fundamental inilah yang biasa dikenal dengan istilah value investing, yaitu strategi memilih saham berdasarkan nilai wajar perusahaan. Pendekatan ini dianggap ideal bagi investor pemula karena mudah dipahami dan telah terbukti membawa kesuksesan bagi banyak tokoh investor besar, seperti Benjamin Graham, Warren Buffett, dan Lo Kheng Hong di Indonesia.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa kondisi pasar saat ini sangat berbeda dibandingkan masa lalu. Selaras dengan judul di atas, apakah value investing masih relevan, khususnya di pasar saham Indonesia? Jawabannya adalah masih, namun sedang tidak populer di era sekarang. Pergeseran ini terjadi akibat beberapa faktor, tiga diantaranya yaitu saham berfundamental bagus yang stagnan, terjebak value trap dan munculnya growth investing. Mari kita bahas satu per satu.

1. Saham Fundamentalis yang Stagnan

Di Bursa Efek Indonesia, terdapat banyak saham dengan fundamental yang sangat baik, namun harga sahamnya tidak mengalami pertumbuhan berarti selama bertahun-tahun, bahkan lebih dari 10 tahun. Sebut saja beberapa saham seperti ASII, PGAS, JSMR, KLBF, dan TLKM. Sebagian di antaranya bahkan merupakan perusahaan milik negara (BUMN) dan market leader di sektornya. Namun, dalam jangka panjang harga saham-saham tersebut justru cenderung stagnan. Padahal secara teori value investing, saham-saham berkinerja baik seharusnya mencerminkan pertumbuhan harga sahamnya di pasar apalagi yang sedang undervalue. Untungnya, sebagian besar dari saham tersebut secara konsisten membagikan dividen yang menarik, bahkan sering kali melebihi suku bunga deposito. Dengan begitu, meskipun tidak mendapatkan capital gain yang besar atau bahkan nol, investor masih memperoleh arus kas dari dividen tahunan secara rutin.

2. Terjebak Value Trap

Value trap merupakan kondisi ketika sebuah saham terlihat murah secara rasio valuasi, padahal nilai sebenarnya memang tidak lebih tinggi. Dengan kata lain, harga saham tersebut murah bukan karena sedang diskon, tetapi karena memang harga segitu saja. Di awal sudah dijelaskan bahwa value investing melihat rasio seperti PBV, yaitu rasio dasar untuk mengetahui apakah saham ini sedang undervalue atau tidak. Analisa fundamental menjelaskan bahwa saham yang murah memiliki PBV <1.

Misalnya, saham X memiliki PBV 0,5 dengan harga Rp5.000. Secara teori, jika PBV kembali ke angka 1, maka harga seharusnya naik menjadi Rp10.000. Namun kenyataannya, harga saham tetap stagnan di 5000 dengan PBV 0,5, bahkan bisa turun lebih jauh. Hal ini terjadi karena nilai fundamental dari perusahaan tersebut memang rendah, atau prospeknya tidak menjanjikan. Fenomena ini menjadi jebakan bagi investor yang hanya terpaku pada satu atau dua rasio valuasi tanpa mempertimbangkan kondisi makro, kualitas manajemen, atau prospek industri perusahaan tersebut.

3. Munculnya Strategi Growth Investing

Berbeda dengan value investing yang berfokus pada angka dan laporan keuangan, growth investing lebih menitikberatkan pada prospek pertumbuhan masa depan dan sentimen pasar. Strategi ini menjadi populer setelah sejumlah saham melonjak tinggi meskipun belum menunjukkan kinerja keuangan yang solid, bahkan masih minus.

Pada tahun 2020 misalnya, saham-saham bank digital seperti ARTO, BBHI, dan BBYB naik secara signifikan meskipun pada saat itu masih merugi. Narasi mengenai masa depan perbankan digital cukup kuat untuk mendongkrak harga saham mereka. Fenomena serupa juga terjadi pada rentang tahun 2023–2024 yang disebut sebagai "era saham konglomerat". Saham-saham milik konglomerat seperti TPIA, CUAN, BREN, dan PTRO (Prajogo Pangestu), serta PANI (Aguan), mengalami lonjakan harga luar biasa. Dan yang terakhir yaitu di kuartal satu saat harga emas dunia sedang rally naik, saham komoditas emas seperti MDKA, PSAB, ARCI juga ikut melejit meskipun tidak semua memiliki laporan keuangan yang impresif.

Itulah tiga faktor terkuat yang membuat value investing sudah tidak sepopuler dulu. Mungkin bisa dikatakan bahwa para investor yang awalnya belajar mengenai fundamental tapi ternyata dikecewakan oleh fundamental itu sendiri.

Terlepas dari itu semua, value investing tidak akan pernah mati sampai kapanpun, karena saham dengan kinerja yang sangat luar biasa akan tetap dinilai baik investor, khususnya investor yang mencari kstabilan. Dalam jangka panjang, strategi ini tetap memiliki tempat tersendiri.

Seperti yang dikatakan Warren Buffett: "Pasar saham adalah alat untuk memindahkan uang dari orang yang tidak sabar ke orang yang sabar."

Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa saham merupakan instrumen investasi dengan resiko yang amat sangat tinggi. Pada akhirnya, bukan soal value atau growth, tapi seberapa dalam kita memahami apa yang sedang kita beli. Karena dalam dunia saham, yang tidak tahu apa yang dia lakukan akan menjadi makanan bagi mereka yang tahu. Jangan hanya melihat imbal hasilnya, tapi juga melihat resiko yang dilaluinya. Jadi sebuah kebijaksanaan diperlukan untuk setiap investor yang ingin terjun di bursa saham.