EmitenNews.com - Kalangan industri baja di Tanah Air mencemaskan makin membanjirnya impor baja seiring kembali menggeliatnya kembali perekonomian tujuh bulan terakhir. Karena itu mereka menginginkan pemerintah melakukan sejumlah kebijakan untuk meredam lonjakan impor yang dapat mengancam industri baja di dalam negeri.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data impor baja (HS Code 72) pada periode Januari-Juli 2021 mengalami lonjakan hingga mencapai 3,4 juta ton dengan nilai USD2,9 miliar. Volume impor tersebut mengalami peningkatan sebesar 18% y-o-y dibandingkan periode yang sama pada tahun 2020 yaitu sebesar 2,9 juta ton dengan nilai USD2,0 miliar.
Kenaikan impor terbesar untuk kategori flat product terjadi pada produk Cold Rolled Coil/Sheet (CRC/S) sebesar 48% senilai 795,5 juta USD dan Coated Sheet sebesar 35% senilai USD788,0 juta, sedangkan untuk long product kenaikan terjadi pada produk Bar sebesar 20% senilai USD239,5 juta.
Ketua Asosiasi Besi dan Baja Nasional/The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA), Silmy Karim, mengingatkan masuknya produk baja CRC/S dan Coated Sheet (produk baja lapis) impor di pasar dalam negeri tidak hanya akan mengancam keberlangsungan produsen baja CRC/S dan Coated Sheet saja. "Namun juga akan mengancam keberlangsungan produsen Hot Rolled Coil (HRC) nasional, mengingat produk baja CRC/S dan Coated Sheet merupakan produk turunan dari baja HRC,” katanya, Senin (18/10).
Jika impor baja terus meningkat, maka industri baja nasional akan sulit berkembang. Selain itu, kondisi ini jika dibiarkan tentu akan menyebabkan Indonesia menjadi sangat bergantung pada produk impor serta tidak sesuai dengan upaya Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).
Indonesia saat ini menerapkan upaya pengendalian impor yang diatur dalam kebijakan tata niaga impor (Persetujuan Impor/PI). Namun Silmy menilai kebijakan tersebut masih belum cukup karena hanya berfungsi untuk mengendalikan impor baja dari sisi volume saja dan tidak bisa merubah atau mempengaruhi struktur harga baja impor yang masuk secara unfair trade (dumping).
Maka dari itu, perlu adanya kebijakan perlindungan lain, baik secara Tarif Measures seperti pemberlakuan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) maupun Non Tarif Measures seperti penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib untuk seluruh produk baja dari hulu hingga hilir.
Silmy yang juga Direktur Utama PT Krakatau Steel menyebut produk baja impor yang masuk ke pasar domestik saat ini banyak dilakukan dengan cara tidak fair, seperti pengalihan kode HS (circumvention), dumping, serta tidak sesuai dengan SNI.
"Praktik ini tidak hanya merugikan produsen baja nasional akibat kehilangan pangsa pasar dan tekanan terhadap harga jual, namun juga mengakibatkan kerugian negara dalam bentuk kehilangan pajak,” tambahnya.
Pemberlakuan BMAD merupakan instrumen yang banyak digunakan oleh negara-negara produsen baja dunia untuk melindungi industri dalam negeri seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Republik Rakyat Tiongkok, dan India.
Silmy meyakini pengenaan BMAD dapat menjadi upaya perlindungan pasar baja dalam negeri yang efektif sebagaimana negara lain secara aktif menerapkannya. "Saat ini, beberapa upaya pengenaan BMAD yang telah diajukan oleh produsen baja domestik namun belum diberlakukan diantaranya adalah untuk produk Cold Rolled Coil/Sheet, Hot Rolled Coil, Wire Rod, Cold Rolled Coil Stainless Steel, dan perpanjangan safeguard untuk I & H Section,” jelasnya.
Selain pemberlakukan BMAD, upaya lainnya yang dapat diimplementasikan untuk melindungi produsen baja nasional dari serbuan produk baja impor adalah pemberlakuan SNI secara wajib untuk seluruh produk baja dari hulu hingga hilir.
Produk baja baik yang diproduksi dalam negeri maupun impor yang telah memiliki SNI wajib, maka produk tersebut wajib memenuhi SNI. Apabila tidak memenuhi, produk baja tersebut termasuk barang illegal dan pihak yang memproduksi, mengimpor dan/atau mengedarkan barang yang tidak sesuai SNI baik dengan sengaja/kelalaiannya dapat dipidana sebagaimana diatur dalam Pasal 120 Undang-Undang nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian.
“Penerapan dan pengembangan SNI tidak lain adalah untuk melindungi keselamatan pengguna produk baja, melindungi industri nasional dari serbuan produk baja impor, menciptakan kondisi bisnis yang adil bagi pelaku industri juga untuk mendukung daya saing industri baja nasional dalam memenuhi permintaan pasar domestik maupun internasional,” tambah Silmy.
“Kami berharap melalui penerapan berbagai upaya perlindungan perdagangan, industri baja nasional dapat meningkatkan utilisasi yang hingga saat ini hanya memiliki tingkat utilisasi di bawah 60% bahkan di beberapa sektor kurang dari 50%. Hal ini tentu sejalan dengan arahan Bapak Presiden RI untuk menjaga keberlangsungan industri domestik serta meredam lonjakan volume impor baja,” tutup Silmy.(fj)
Related News
Kecelakaan Maut Mobil tvOne di Tol Pemalang, Polisi Ungkap Penyebabnya
Perusahaan Sehat Adalah yang Punya Karyawan Loyal dan Solid
KSP, dalam 100 Hari Kerja Target Pindad Produksi 5.000 Mobil Maung
Gagas Pemiskinan Mafia Tanah, Ini Langkah Penting Menteri ATR/BPN
Tom Lembong Tersangka
Wujudkan Program 3 Juta Rumah, Menteri PKP Sumbang 2,5 Hektare Lahan