EmitenNews.com—Perusahaan-perusahaan di Indonesia saat ini terus melakukan pengembangan bisnis yang bersifat sustainability dan menggenjot penerapan ESG. Menurut PT Schroder Investment Management Indonesia yang memiliki fokus pada perusahaan yang deliver ESG, di Indonesia penerapan itu bisa dilihat dari contoh sudah mulai dengan perusahaan semen yang dikenai karbon taks. 


Pemerintah juga akan terus mendorong penerapan ESG dan perusahaan juga akan lebih improvement untuk keberlanjutan, perbankan akan make sure untuk lebih pada sektor keberlanjutan bahan untuk perusahaan sawit harus memiliki sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Oil Plan (ISPO).


PT Schroder Investment Management Indonesia mencatatkan dana kelolaan atau asset under manangement (AUM) sekitar Rp 66,64 triliun hingga akhir September. Pemulihan pasar modal Indonesia menjadi sentimen positif utama.


"Kami, selalu berusaha untuk mencetak pertumbuhan yang konsisten melalui pertambahan produk, meningkatkan investor. Sehingga mendapatkan return yang maksimal," kata Irwanti CFA, Investment Director Schroders Indonesia dalam acara Embracing Sustainability & ESG, Rabu (2/11). 


Irwanti mengatakan tidak dapat memberikan perkiraan AUM di akhir tahun ini dan tahun depan karena masih dalam perhitungan segala aspek perekonomian dan pasar modal domestik serta global yang cukup volatil saat ini. Schroder lebih banyak menempatkan dan di saham.


"Schroders lebih banyak taruh di saham jadi sedikit berbeda dengan umumnya jadi sulit bagi kami memberikan target dana kelolaan karena kita semua tahu kinerja saham sangat sulit diprediksi," ujar dia. 


Kami melihat tahun 2022 merupakan tahun yang baik untuk saham seiring dengan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan laba korporasi pasca pandemi, serta Indonesia yang merupakan beneficiary dari harga komoditas yang melambung tinggi. Alhasil, investor asing berlomba-lomba masuk ke pasar saham Indonesia, melihat opsi yang cukup terbatas di pasar saham global yang saat ini menghadapi tekanan inflasi dan isu geopolitik.


Sebaliknya kenaikan inflasi dan suku bunga menyebabkan pasar SBN tertekan di tahun ini. Kami melihat sampai akhir tahun ini pasar saham masih akan terjaga dan cukup stabil di level sekarang melihat asing yang masih melihat Indonesia menarik secara valuasi dan fundamental serta melihat harga komoditas yang masih tinggi. 


Melihat inflasi dan suku bunga yang mulai naik di Indonesia, maka kami melihat pasar obligasi masih banyak tekanan namun melihat kepemilikan asing yang telah turun sampai 15% dari 40% pre-covid dan dana asing yang outflow (keluar) cukup besar secara YTD, maka kami melihat downside (potensi penurunan) pasar obligasi sudah cukup terbatas dari level sekarang.


Return dari reksadana juga mengikuti kelas aset masing-masing, sehingga kami melihat pertumbuhan industri reksadana pun masih cukup sehat, melihat likuiditas di sistem perbankan yang masih besar. Hanya saja pemilihan kelas aset akan menyesuaikan dengan kondisi pasar.


Irwanti berharap dana kelolaan akan terus meningkat. Tapi, dia mengingatkan bahwa ada potensi resesi global. IMF mengeluarkan target perekonomian global berada di sekitar 2,3%-2,5%.


Schroders optimistis pasar saham akan naik. Irwanti mengatakan, pasar saham Indonesia telah naik 7%. Sementara reksadana Schroders telah outperfom sehingga bisa naik sekitar 14%-15%. Irwanti mengatakan, Schroders memilih saham-saham yang defensif seperti consumer, sektor kesehatan, dan perbankan pada kondisi sekarang.