EmitenNews.com -Para ekonom dan pelaku pasar menyambut gembira tercapainya kesepakatan dagang sementara antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian, kesepakatan ini menjadi titik terang yang mampu memberikan sentimen positif bagi pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia. Pasar tentunya merespons positif kabar ini, terutama karena kesepakatan ini dinilai mampu meredakan ketegangan perdagangan yang telah berlangung selama beberapa bulan belakangan dan dipredikasi akan berdampak sistemik terhadap rantai pasokan global.

Kesepakatan dagang sementara ini diumumkan berlaku mulai Rabu, 14 Mei 2025, setelah perundingan intensif selama dua hari (10-11 Mei 2025) di Jenewa, Swiss. Dalam kesepakatan tersebut, Presiden AS Donald Trump menyetujui penurunan tarif terhadap produk Tiongkok dari sebelumnya 145% menjadi 30% selama 90 hari ke depan. Sebagai timbal balik, Tiongkok juga sepakat untuk menurunkan tarif impor terhadap produk-produk asal AS dari 125% menjadi 10%. Kedua negara sepakat untuk menggunakan waktu 90 hari ini untuk merampungkan negosiasi lanjutan dan mencapai kesepakatan yang lebih permanen.

Kesepakatan ini tidak hanya mencakup penurunan tarif, tetapi juga membuka ruang kerja sama teknologi, perdagangan jasa, serta pembukaan akses pasar yang lebih luas di kedua negara. Perjanjian ini dianggap sebagai fase pertama dalam proses panjang yang bertujuan menstabilkan hubungan dagang kedua negara dan memulihkan kembali kepercayaan pasar.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai barometer utama pasar utama Indonesia merespons positif kesepakatan ini, didorong oleh kenaikan sektor komoditas, perbankan dan infrastruktur. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku pasar melihat kesepatan ini sebagai sinyal membaiknya iklim investasi global. 

Meskipun kesepakatan AS dan China memberikan sentimen positif ke pasar secara umum, posisi Indonesia dalam pusaran ini tidak serta merta menguntungkan. Dalam konferensi pers pada hari Jumat, 18 April 2025, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa produk-produk unggulan Indonesia seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan udang justru dikenakan tarif lebih tinggi oleh AS dibandingkan negara ASEAN lainnya.

Menurut Airlangga, Presiden Trump menerapkan kebijakan tarif masuk produk Indonesia yang bisa mencapai 47%. Meski dalam kesepatan sementara tarif sebesar 32% didiskon menjadi 10% selama tiga bulan, namun kebijakan proteksionis masih berlaku untuk berbagai komoditas strategis Indonesia. AS tetap menerapkan tarif sebesar 10%-37% untuk barang-barang tekstil dan garmen asal Indonesia, yang jika diakumulasi mencapai sekitar 20%-47%.

Hal ini mencerminkan bahwa meskipun ada kabar baik dari kesepakatan AS dan China, Indonesia tetap menghadapi tantangan besar dalam perdagangan bilateralnya dengan AS. Perlakuan diskriminatif ini menjadikan Indonesia harus lebih agresif dalam melakukan diplomasi dagang dan mencari jalan untuk menegosiasikan tarif yang lebih adil.

Sebagai tanggapan atas tarif tinggi tersebut, Indonesia dan AS sepakat untuk menyelesaikan negosiasi perdagangan bilateral dalam waktu 60 hari. Target utama dari negosiasi ini adalah menurunkan tarif proteksionis yang dikenakan terhadap komoditas unggulan Indonesia. Jika berhasil, maka hal ini bisa menjadi game changer bagi industri manufaktur dalam negeri yang saat ini sangat bergantung pada akses ekspor ke pasar Amerika. Namun tentu, proses negosiasi ini membutuhkan pendekatan strategis yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk asosiasi pengusaha, kementerian terkait, serta lembaga keuangan.

Selain bernegosiasi dengan AS, pemerintah Indonesia juga didorong untuk memperkuat pasar non tradisional sebagai bentuk diversifikasi risiko. Negara-negara seperti India, negara-negara Timut Tengah, Afrika, dan Asia Tengah bisa menjadi mitra dagang baru yang potensial. Selain itu, percepatan perjanjian dagang regional seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan penguatan hubungan dagang intra-ASEAN dapat membantu menstabilkan ekspor nasional.

Pemerintah juga harus mempercepat reformasi struktural, termasuk penyederhanaan regulasi ekspor, peningkatan kualitas produk, serta efisiensi logistik. Langkah-langkah ini akan memperkuat daya saing produk Indonesia di pasar global, termasuk di tengah iklim perdagangan yang proteksionis.

Beberapa sektor berikut ini dipredikasi akan terdampak langsung dari kesepakatan dagang AS-China dan dinamika tarif AS terhadap Indonesia, seperti sektor komoditas (batu bara dan CPO) yang akan mengalami peningkatan permintaan dengan pulihnya aktivitas manufaktur AS dan China. Sektor perbankan dan keuangan juga akan mendapatkan angin segar karena aliran dana asing yang kembali masuk ke pasar modal Indonesia. Sedangkan sektor manufaktur dan tekstil akan menghadapi tantangan besar akibat tarif tinggi dari AS. Namun peluang ekspor ke negara non AS perlu dimaksimalkan. Selanjutnya, di sektor teknologi dan jasa akan terbuka peluang kemitraan baru jika kerja sama digital AS-China terbuka bagi pihak ketiga. Begitupun dengan sektor transportasi dan logistik juga akan terdampak positif jika ekspor meningkat dan permintaan pengiriman barang bertumbuh.

Kesepakatan dagang sementara AS dan China adalah momentun penting yang membuka peluang pemulihan ekonomi global. IHSG sebagai indikator kepercayaan investor mengalami tren positif dengan kesepakatan ini. Namun, dibalik itu semua Indonesia masih harus menghadapi tantangan dalam hubungan dagangnya dengan Amerika Serikat.

Tarif tinggi terhadap produk unggulan Indonesia menuntut strategi yang lebih komprehensif, termasuk diplomasi perdagangan yang lebih aktif, diversifikasi pasar ekspor, serta perbaikan daya saing industri dalam negeri. Pemerintah dan pelaku usaha harus merespon dinamika global ini dengan cepat dan adaptif, agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam permainan dagang global, tetapi mampu menjadi pemain yang tangguh dan mandiri.

Dalam jangka menengah dan panjang, hasil negosiasi Indonesia dan AS akan sangat menentukan arah perdagangan nasional. Keberhasilan dalam menurunkan tarif dan membuka askses pasar lebih luas akan menjadi katalis positif bagi pertumbuhan ekonomi dan penguatan pasar modal Indonesia di masa mendatang.