EmitenNews.com -Ekonomi Amerika Serikat mengalami kontraksi sebesar -0,5% pada kuartal pertama 2025. Meski angka ini menandai pelemahan signifikan dalam perekonomian terbesar dunia, pasar saham AS merespons dengan euforia. Indeks S&P 500 dan Nasdaq justru mencetak rekor tertinggi baru. Fenomena ini membuktikan bahwa reaksi pasar tidak selalu sejalan dengan logika makro ekonomi konvensional.

Kondisi ini memperkuat pepatah lama di pasar keuangan: bad news is good news. Ketika data ekonomi memburuk, pelaku pasar justru melihatnya sebagai sinyal awal dari perubahan kebijakan moneter. Bagi investor, kabar tentang perlambatan bisa menjadi pintu masuk menuju peluang baru terutama jika disertai respons akomodatif dari otoritas moneter.

Kontraksi GDP AS: Peluang dalam Pelambatan?

Data resmi menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) AS menyusut -0,5% (quarter-on-quarter), lebih dalam dari ekspektasi semula sebesar -0,2%. Pelemahan ini dipicu oleh turunnya konsumsi rumah tangga, pelemahan belanja pemerintah, serta peningkatan tajam pada volume impor. Pendapatan pribadi juga mencatat penurunan, mengindikasikan tekanan di sisi permintaan domestik.

Namun, di tengah semua data negatif ini, inflasi inti mulai melambat. Inilah yang membuka ruang bagi The Federal Reserve untuk mempertimbangkan perubahan arah kebijakan. Dari sinilah spekulasi pasar mengenai pemangkasan suku bunga mulai menguat.

Wall Street Mencetak Rekor: Harapan Mengalahkan Kekhawatiran

Berbeda dengan respons pada awal 2022 saat data ekonomi memburuk disambut koreksi tajam, kali ini pasar bersikap sebaliknya. Indeks S&P 500 mencatat kenaikan kuartalan yang kuat, sementara Nasdaq 100 yang dipenuhi saham teknologi menembus rekor baru, didorong oleh lonjakan harga saham-saham seperti Nvidia, Apple, dan Microsoft.

Investor berspekulasi bahwa suku bunga acuan The Fed akan mulai diturunkan mulai September 2025. Sentimen ini menimbulkan rotasi modal besar-besaran ke aset berisiko seperti saham teknologi, obligasi jangka panjang, dan ETF yang berbasis pertumbuhan. Narasi dominan di Wall Street saat ini bukan lagi soal resesi, melainkan tentang peluang yang muncul dari pelonggaran likuiditas.

Dampak Global: Emerging Market Kembali Jadi Sorotan

Dalam peta global, negara berkembang seperti Indonesia berada di posisi yang cukup strategis. Saat yield US Treasury menurun, selisih imbal hasil antara obligasi negara berkembang dan AS menjadi lebih menarik. Hal ini sering memicu aliran dana asing ke pasar-pasar seperti Indonesia, Brasil, dan India.

Indonesia sendiri memiliki daya tarik tambahan: stabilitas politik, fundamental makro yang relatif sehat, dan pasar keuangan yang cukup dalam. Jika tren ini berlanjut, investor institusional global kemungkinan akan memperbesar eksposur mereka ke SBN dan saham-saham unggulan di BEI.

Imbas ke Indonesia: Dua Arah Positif

  1. Obligasi: Potensi Capital Gain di Depan Mata

Penurunan yield US Treasury biasanya diikuti oleh penurunan yield obligasi negara berkembang. Hal ini menciptakan peluang capital gain bagi investor yang sudah masuk lebih awal ke obligasi negara, termasuk Surat Berharga Negara (SBN), reksa dana pendapatan tetap, dan ETF berbasis obligasi.

  1. Saham: IHSG Bisa Diuntungkan Sentimen Global

IHSG berpotensi terdorong sentimen positif dari Wall Street. Arus modal asing kembali masuk ke sektor-sektor andalan seperti perbankan, infrastruktur, dan energi. Ditambah lagi, jika nilai tukar rupiah tetap stabil dan data domestik menunjukkan ketahanan, maka sentimen ini bisa bertahan cukup lama.

Perilaku Investor Domestik Masih Wait and See?

Di tengah euforia pasar global dan arus dana asing yang mulai kembali masuk, investor ritel domestik justru menunjukkan sikap yang cenderung berhati-hati. Aktivitas perdagangan harian di Bursa Efek Indonesia (BEI) belum sepenuhnya pulih ke level rata-rata prapemilu atau awal 2024. Volume transaksi harian masih fluktuatif, dengan dominasi transaksi jangka pendek yang berulang di sektor-sektor berisiko tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar investor lokal masih bersikap wait and see, menanti kepastian dari arah kebijakan pemerintah baru serta proyeksi ekonomi kuartal III. Kekhawatiran atas potensi tekanan daya beli masyarakat, tingginya harga pangan, dan perlambatan proyek infrastruktur turut membentuk persepsi risiko tersendiri.