EmitenNews.com - Di tengah dinamika perlambatan ekonomi dunia saat ini, perekonomian Indonesia masih menunjukkan daya tahan prima. Kinerja APBN hingga medio 2023 tetap solid menjaga pemulihan ekonomi dan melindungi masyarakat, sejalan dengan penguatan ekonomi domestik.


Kala aktivitas manufaktur global terseok, industri manufaktur Indonesia justru menjadi segelintir dari negara-negara di dunia yang mampu bertahan di zona ekspansif. Capaian tersebut tercermin dari PMI Indonesia yang terjaga di fase ekspansi selama 22 bulan beruntun, meningkat dari dari level 50,3 pada Mei 2023 menjadi 52,5 pada Juni 2023.


Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu dalam keterangan resminya Selasa (4/7) mengisaratkan perbaikan sektor manufaktur nasional ini didorong oleh tingkat permintaan yang masih kuat serta meningkatnya kapasitas produksi dan kebutuhan tenaga kerja.


Sinyal positif lain tercermin dari berlanjutnya tren penurunan inflasi hingga akhir semester I 2023. Inflasi bulan Juni 2023 tercatat 3,5% (yoy), menurun dari bulan Mei yang mencapai 4,0% (yoy). Pemerintah pun terus berupaya mengendalikan inflasi dengan mengantisipasi risiko-risiko yang dapat menyebabkan gejolak harga guna mencapai sasaran inflasi 3,0±1,0% di akhir 2023.


“Upaya pengendalian inflasi secara menyeluruh akan terus diperkuat dengan koordinasi pusat dan daerah, termasuk dalam mengoptimalkan APBN dan APBD dalam menjaga stabilitas harga,” ujar Febrio.


Penguatan ekonomi domestik berjalan seiring dengan semakin solidnya kinerja APBN di paruh pertama 2023. Sampai dengan pertengahan 2023, pendapatan negara mencapai Rp1.407,9 triliun atau 57,2% dari target APBN dan tumbuh 5,4% (yoy). Sementara, belanja negara terealisasi sebesar Rp1.255,7 triliun atau 41,0% dari pagu APBN atau tumbuh 0,9% (yoy).


Dengan capaian pendapatan serta belanja negara tersebut, kinerja APBN itu pun mendapat apresiasi positif dari Ekonom CORE Indonesia, Akhmad Akbar Susamto.


“Realisasi APBN di semester 1 2023 ini cukup bagus ya dan saya kira kita perlu apresiasi itu,” ujar Akhmad.


Menurut Akbar, dengan terjaganya perekonomian domestik tetap solid hingga triwulan ke-2 2023, serta didukung proyeksi lembaga-lembaga keuangan dunia bahwa ekonomi Indonesia masih akan bertahan di kisaran 5% pada tahun ini, maka penerimaan negara hingga akhir tahun pun akan tetap tumbuh positif dan APBN cenderung masih akan mengalami surplus.


Di sisi lain, Akbar menyoroti belanja negara yang hanya tumbuh tipis 0,9% dibandingkan periode sama tahun lalu. Akbar mengakui setelah selama 3 tahun (2020 hingga 2022) APBN bekerja keras melindungi masyarakat dari guncangan pandemi dan tekanan harga komoditas global, APBN kini sudah semakin sehat dengan adanya kebijakan konsolidasi fiskal. Defisit pun sudah kembali di bawah 3% bahkan sejak 2022.


Kendati demikian, Akbar berharap pemerintah bisa tetap mengoptimalkan belanja meskipun tengah melakukan konsolidasi fiskal.


“Upaya untuk melakukan konsolidasi fiskal sudah betul arahnya tetapi jangan sampai kemudian kecenderungan kita untuk melakukan konsolidasi fiskal ini membuat kita menjadi kurang greget di dalam membantu menggerakkan perekonomian dengan APBN itu,” papar Akbar.


Dia berpendapat pemerintah perlu terus mengoptimalkan belanja, khususnya belanja yang memberikan manfaat konkret bagi masyarakat. Optimalisasi belanja itu diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat yang selanjutnya akan mendorong daya laju ekonomi domestik agar tetap tangguh di tengah ketidakpastian perekonomian dunia.


Lebih lanjut Akbar mengapresiasi semangat pemerintah dalam menambah anggaran untuk membantu masyarakat, namun dia mengingatkan agar pemerintah memperhatikan efektivitas bantuan tersebut. Alih-alih memberikan bantuan pangan beras misalnya, menurut Akbar akan lebih efektif jika bantuan diberikan dalam bentuk bantuan langsung tunai.


Di samping itu menurut dia pemberian bantuan pangan beras memiliki lebih banyak risiko, seperti risiko pengelolaan beras, pengadaan beras, hingga harga beras yang relatif volatile.


“Jadi ketika bantuan itu dalam bentuk barang termasuk beras itu sebenarnya risikonya akan lebih besar dibandingkan kalau bantuan diberikan dalam bentuk tunai langsung masuk rekening gitu ya,” pungkas Akbar.(*)