EmitenNews.com -Di tengah tekanan profitabilitas dan persaingan sengit di sektor teknologi Asia Tenggara, isu merger antara dua pemain utama Grab Holdings Ltd dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk menjadi perhatian besar. Bila terealisasi, konsolidasi ini bisa menjadi titik balik industri digital kawasan, menciptakan satu entitas super-app terbesar yang pernah ada. Tapi di balik potensi sinergi dan efisiensi, ada pula pertanyaan besar tentang dominasi pasar, dampak terhadap konsumen, serta tantangan hukum yang harus dihadapi.

Apa Itu Merger dan Mengapa Ini Menjadi Sorotan?

Merger adalah proses penyatuan dua entitas bisnis menjadi satu perusahaan baru. Tujuannya bisa bermacam-macam: memperbesar pangsa pasar, menekan biaya operasional, hingga menghentikan kompetisi yang menguras sumber daya. Dalam sektor digital, merger sering digunakan sebagai strategi bertahan dalam iklim pasar yang mulai jenuh dan menuntut profit lebih cepat. Dalam kasus Grab dan GOTO, potensi merger ini bukan hanya soal efisiensi. Ini bisa menjadi upaya untuk menciptakan kekuatan tunggal yang menguasai transportasi daring, pengantaran makanan, dompet digital, dan bahkan e-commerce di Asia Tenggara.

Latar Belakang GOTO: Harapan Besar, Tekanan Lebih Besar

Setelah merger antara Gojek dan Tokopedia pada 2021, GOTO menjadi simbol konsolidasi besar startup Indonesia. Namun, sejak melantai di bursa pada 2022, valuasi GOTO anjlok drastis. Strategi efisiensi dilakukan, PHK ribuan karyawan, divestasi Tokopedia ke TikTok, hingga penutupan beberapa layanan tapi tekanan profitabilitas masih berat. Dalam kondisi seperti ini, merger dengan Grab bisa menjadi jalan pintas untuk bertahan.

Apakah Merger Ini Mungkin Terjadi?

Secara bisnis, peluang merger ini tidak bisa dianggap angan-angan belaka. Kedua perusahaan menghadapi tantangan mirip: pembakaran kas (cash burn) yang tinggi, tekanan investor, dan kebutuhan untuk mencetak laba. Bahkan, mereka berbagi investor yang sama, seperti SoftBank dan Temasek, yang dikenal pro-merger jika efisiensi bisa dicapai.

Namun demikian, jika dilihat dari sisi teknis, menyatukan dua entitas raksasa seperti Grab dan GOTO bukan pekerjaan mudah. Tantangan terbesar justru ada pada tahap integrasi pasca-merger. Salah satu tantangan utama adalah penyatuan tim manajemen. Keduanya memiliki struktur kepemimpinan, strategi, dan budaya pengambilan keputusan yang berbeda. Menyatukan dua gaya kepemimpinan yang kuat tanpa menimbulkan friksi internal bukanlah hal yang sederhana. Perlu ada kejelasan siapa yang memegang kendali, bagaimana peran masing-masing pemimpin dibagi, serta bagaimana keputusan strategis akan diambil ke depan.

Selain itu, integrasi produk dan layanan juga akan menjadi pekerjaan rumah besar. Grab dan GOTO memiliki tumpang tindih layanan di banyak sektor: dari transportasi, logistik, pesan-antar makanan, hingga dompet digital. Menggabungkan produk yang serupa tanpa membingungkan pengguna dan menjaga loyalitas pelanggan adalah tantangan tersendiri. Di sisi teknologi, sistem backend dan infrastruktur digital mereka juga harus diharmonisasikan agar mampu berjalan mulus dalam satu ekosistem.

Tak kalah penting, harmonisasi budaya kerja akan menentukan keberlangsungan integrasi jangka panjang. Grab, yang berbasis di Singapura, memiliki pendekatan korporat dan regional yang berbeda dengan GOTO yang berbasis di Indonesia dan memiliki karakteristik lokal yang kuat.

Ketidaksamaan ini bisa memicu gesekan dalam operasional sehari-hari bila tidak dikelola dengan baik. Terakhir, pembagian saham dan struktur kepemilikan di perusahaan baru hasil merger juga berpotensi memicu tarik-menarik kepentingan. Penilaian valuasi masing-masing entitas, hak suara, dan kontrol strategis akan menjadi poin negosiasi yang sensitif. Jika tidak tercapai kesepakatan yang adil dan transparan, merger bisa gagal bahkan sebelum dimulai.

Aspek Hukum: Peran KPPU dan Risiko Anti-Monopoli

Jika merger ini terwujud, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hampir pasti akan turun tangan. Mengingat Grab dan GOTO adalah dua pemain utama di berbagai lini (ride-hailing, pesan-antar makanan, dompet digital), gabungan keduanya berpotensi menciptakan entitas dominan yang bisa mengarah ke monopoli. KPPU berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 berhak menolak atau memberikan syarat ketat bagi merger yang dianggap membatasi persaingan usaha. Pengawasan juga bisa datang dari regulator di negara lain tempat kedua perusahaan beroperasi, seperti Singapura dan Malaysia. Oleh karena itu, merger ini bukan hanya proses bisnis, tetapi juga pertarungan hukum jangka panjang.

Dampak: Peluang dan Ancaman bagi Pasar dan Konsumen

Dari sisi investor, merger ini bisa mendongkrak valuasi jangka pendek dan menciptakan entitas lebih efisien. Namun prosesnya berisiko tinggi: integrasi tidak lancar, konflik manajemen, dan regulasi bisa menjadi hambatan yang menggerus nilai. Dari sisi konsumen, potensi negatif tak bisa dihindari. Kurangnya pesaing bisa memicu kenaikan harga, pengurangan promo, hingga penurunan kualitas layanan. Sebaliknya, jika sinergi dilakukan dengan baik, konsumen bisa menikmati pengalaman layanan yang lebih terintegrasi dan efisien.

Dari sisi kompetitor, pemain lain seperti Shopee, TikTok Shop, dan startup logistik akan terdampak langsung. Merger ini bisa memaksa percepatan inovasi atau bahkan memicu gelombang konsolidasi lanjutan di sektor teknologi kawasan.

Kesimpulan: Merger yang Bisa Ubah Peta Digital ASEAN