EmitenNews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi Budi Prasetyo pada 2023 telah menemukan potensi kerawanan dalam tata kelola maupun ekspor nikel. Temuan tersebut didapatkan berdasarkan dua kajian oleh Direktorat Monitoring KPK, yakni terkait tata kelola nikel, dan ekspor nikel.

Dalam keterangannya yang dikutip Sabtu (14/6/2025), Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengungkapkan bahwa dari kajian tata kelola nikel, KPK menemukan adanya potensi kerawanan tidak hanya pada sisi hulu, tetapi juga sampai pada hilir.

Kerawanan tersebut terkait dengan mekanisme perizinan yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Lalu, kegiatan penambangan pada kawasan hutan yang belum memiliki izin, serta pendataan atas penempatan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang yang masih belum memadai.

Terkait dengan kajian ekspor nikel yang sebelumnya sudah disampaikan, KPK juga menemukan potensi permasalahan terkait dengan legalitas dari ekspor nikel.

Dalam kajian tersebut, menemukan dugaan lemahnya pengawasan yang tidak hanya terkait pengaturan dan mekanisme verifikasi, namun juga berkaitan dengan penelusuran-penelusuran teknisnya.

“KPK sudah menyiapkan beberapa rekomendasi perbaikan. Tentu ini juga akan menjadi bahasan dan analisis terlebih dahulu oleh tim bersama dengan para pemangku kepentingan terkait,” ujar Budi Prasetyo.

Belum optimalnya pengawasan yang berdampak kepada lingkungan

Sebelumnya, berdasarkan kajian yang ada, KPK telah mengidentfikasi sejumlah tantangan dan permasalahan yang ditemukan dalam sektor pertambangan dalam negeri termasuk belum optimalnya pengawasan yang berdampak kepada lingkungan.

Kepala Satuan Tugas (Satgas) Korsup Wilayah V KPK Dian Patria dalam diskusi terkait Raja Ampat yang diikuti daring di Jakarta, Kamis (12/6/2025), menyampaikan terdapat 10 tantangan dan permasalahan sektor pertambangan mulai dari resentralisasi kewenangan, ekspor ilegal dan ketidakpatuhan pemegang izin.

"Lemahnya pengawasan, ini fakta jelas. Sudah bertahun-tahun kok kayak kalau tidak dibikin ramai mungkin mata kita semua tidak terbuka," kata Dian Patria.

Adanya dampak lingkungan yang tidak dapat dipungkiri ketika membicarakan industri ekstraktif termasuk dalam kegiatan pertambangan. Dalam konteks itu, KPK menerima banyak aduan terkait korupsi di sektor sumber daya alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk yang terjadi di wilayah Indonesia timur.

Satgas sempat menyoroti banyaknya tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya dalam laporan beberapa tahun sebelumnya.

Selain itu, terdapat pula isu tenaga kerja asing, kemunculan kembali izin usaha pertambangan (IUP) yang dibatalkan, kontribusinya terhadap ekonomi lokal, konflik sosial dan penambangan ilegal.

Khusus untuk perizinan, dari 11 ribu IUP, sekitar 1.850 di antaranya tidak memiliki perencanaan pertambangan dan produksi (mine planning and production/MPP).

Dari situ terjadi kerugian negara, salah satunya karena ekspor ilegal. Namun, di sisi lain KPK melihat adanya kerugian yang muncul juga dari sisi kerusakan lingkungan.

"Kita dapat berapa sih sebenarnya dibandingkan memulihkan karang, lingkungan yang rusak, itu mungkin tidak seberapa," jelas Dian Patria. ***