EmitenNews.com - Kebijakan relaksasi impor produk jadi selama ini dinilai menekan permintaan domestik beberapa industri karena memicu lonjakan impor produk jadi dan menekan utilisasi industri dalam negeri disertai penutupan industri serta ancaman PHK terutama di delapan kelompok industri utama seperti alas kaki, elektronik, kosmetik, dan pakaian jadi.

Karenanya Kementerian Perindustrian mendukung dan mengapresiasi kebijakan Deregulasi Pemerintah untuk Kemudahan Berusaha dan pengendalian dan pembatasan impor produk jadi disubsektor Tekstil dan Produks Tekstil serta produk pakaian jadi serta aksesoris pakaian jadi sebagai langkah mitigasi sekaligus upaya menjaga ketahanan industri nasional.

“Revisi Permendag ini mempertimbangkan data supply-demand sektor tekstil dan pakaian jadi. Dengan pembatasan impor secara selektif, maka pesanan produk dalam negeri akan meningkat. Karena itu, setelah kebijakan tersebut diterapkan, kami yakin dampaknya akan positif terhadap variabel pesanan dalam IKI, khususnya pada subsektor industri tekstil dan pakaian jadi,” kata Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, Senin (30/6).

Febri juga menambahkan, pada Juni 2025, pesanan pada industri tekstil, produk pakaian jadi, dan aksesoris pakaian jadi mengalami kontraksi. “Hal ini menunjukkan bahwa relaksasi impor sebelumnya telah menekan permintaan domestik. Maka, revisi kebijakan ini diharapkan akan memulihkan permintaan dan meningkatkan utilisasi industri dalam negeri,” pungkasnya.

Meskipun sejumlah indikator menunjukkan perlambatan, keyakinan pelaku industri terhadap prospek usaha dalam enam bulan ke depan masih cukup terjaga. Para pelaku usaha masih optimis memandang kondisi usaha enam bulan ke depan yang ditunjukkan dari tingkat optimisme yang mencapai 65,8%, sedangkan yang menjawab pesimis hanya 9,0%. Namun, optimisme pelaku usaha ini terus menurun sejak November 2024, dari 73,4% menjadi 65,8% pada Juni 2025.

“Penurunan optimisme pelaku usaha pada Juni 2025 yang turun hampir 1% dibanding bulan sebelumnya dipicu oleh eskalasi konflik di Timur Tengah, khususnya ketegangan Iran-Israel yang meningkatkan kekhawatiran atas lonjakan harga energi dan biaya logistik. Sebagian industri kita sangat bergantung pada energi, termasuk gas sebagai bahan baku, sehingga rentan terhadap gejolak harga. Selain itu, gangguan jalur logistik global turut mendorong kenaikan biaya produksi dan distribusi,” imbuh Febri.

Secara keseluruhan, mayoritas pelaku industri mencatatkan perbaikan atau stabilitas usaha pada Juni 2025. Sebanyak 32,1 persen menyatakan kondisi usaha membaik (naik dari 28,9 persen bulan sebelumnya), dan 45,1 persen menyatakan stabil. Hanya 22,8 persen yang menyatakan penurunan kondisi usaha—lebih rendah dibanding bulan Mei (25,7 persen).(*)