EmitenNews.com -Di tengah tekanan ekonomi yang masih berlanjut sepanjang 2025, sektor perbankan nasional mencatatkan kinerja beragam. Tekanan paling nyata terlihat pada bank-bank milik negara (BUMN) yang harus menyeimbangkan fungsi ganda: menjaga stabilitas pembiayaan bagi ekonomi nasional dan menjaga profitabilitas di tengah perlambatan ekonomi global.

Data per Agustus 2025 menunjukkan, tiga pilar bank BUMN—PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.—mencatatkan penurunan laba bersih secara tahunan. BRI mencatat penurunan terdalam sebesar 9,94%, diikuti Mandiri 8,66%, dan BNI yang relatif lebih landai di 5,74%.

Sementara itu, di kubu swasta, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) masih mampu mencatat kenaikan laba bersih 8,5% (year-on-year) berkat fleksibilitas fokus bisnis komersial tanpa penugasan khusus dari pemerintah.

Meski laba tertekan, performa intermediasi bank BUMN masih solid. Bank Mandiri mencatat pertumbuhan kredit 10,75% yoy menjadi Rp1.353,43 triliun, diikuti BNI dengan 8% yoy ke Rp769 triliun. Sementara BRI tumbuh 5,77% yoy menjadi Rp1.273,09 triliun, sedikit di bawah rata-rata industri sebesar 7,5%.

Bank Mandiri mempertahankan fokus pada pembiayaan korporasi nasional, sedangkan BNI memperkuat lini bisnis internasional yang mendorong peningkatan pendapatan non-bunga (fee-based income).

Kinerja BNI menjadi sorotan tersendiri karena mampu menjaga efisiensi dan kualitas aset di tengah tekanan laba. Pencadangan BNI hanya meningkat 4,44% yoy menjadi Rp4,67 triliun, jauh di bawah Mandiri (Rp40,7 triliun) dan BRI (Rp27,5 triliun).

Rasio kredit bermasalah (NPL gross) BNI juga terjaga di level 1,95%, lebih sehat dibandingkan BCA (2,2%) dan berada di bawah ambang batas “sangat sehat” sebesar 2%.

Manajemen BNI menyebut, capaian tersebut didorong oleh segmen korporasi dan konsumer yang solid, efisiensi biaya pendanaan, serta dominasi rasio dana murah (CASA) dalam struktur Dana Pihak Ketiga (DPK).

Meski menunjukkan ketahanan fundamental, saham BBNI terkoreksi 0,79% ke level Rp3.770/saham. Dengan Price to Book Value (PBV) di kisaran 0,92x, valuasi saham BBNI masih berada di bawah nilai buku dan di bawah rata-rata industri perbankan (1x).

Analis memperkirakan Earnings per Share (EPS) BNI 2025 berada di kisaran Rp567–Rp570, dengan potensi pemulihan laba pada 2026 seiring ekspektasi penurunan suku bunga acuan dan perbaikan ekonomi global.

Konsensus Investing.com menetapkan target harga wajar (target price) BBNI di Rp5.079/saham, merefleksikan potensi kenaikan 33,6% dari harga saat ini.

Menurut Frederick Daniel T, Equity Portfolio Manager STAR Asset Management, koreksi saham-saham perbankan sejauh ini masih tergolong wajar dan selaras dengan tekanan pada pertumbuhan kredit serta penurunan Net Interest Margin (NIM).

“Kami tidak melihat pelemahan ini disebabkan oleh faktor struktural, melainkan melemahnya permintaan kredit di segmen kecil dan mikro. Namun segmen ini akan pulih seiring pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya.

Frederick menilai valuasi saham-saham bank saat ini sangat menarik karena masih diperdagangkan di bawah nilai wajar.

“Kami percaya potensi pertumbuhan kredit akan menopang laba bersih bank, yang kemudian mendorong kenaikan harga saham akibat efek ganda dari revaluasi dan pertumbuhan laba,” katanya.

Ia memperkirakan rally saham perbankan berpotensi terjadi pada kuartal IV-2025, seiring meningkatnya kepastian pemulihan ekonomi dan permintaan kredit.

Dengan fundamental yang kuat, manajemen risiko yang hati-hati, dan diversifikasi portofolio kredit yang baik, BNI dinilai menjadi bank BUMN paling siap menyambut fase pemulihan.