EmitenNews.com -Indonesia telah menetapkan tujuan yang sangat ambisius - mencapai Indonesia Emas pada tahun 2045, yang menandai peringatan seratus tahun kemerdekaan Indonesia sebagai negara independen. Salah satu pilar utama visi ini, yang dijelaskan oleh pemerintah Indonesia, adalah pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, mencakup strategi untuk meningkatkan investasi di sektor-sektor pertumbuhan dan memfasilitasi perdagangan dan layanan.

 

Saat ini, lanskap ekonomi Indonesia memberikan gambaran yang menjanjikan dan optimis. Survei HSBC Global Connection yang dilakukan oleh HSBC Commercial Banking menemukan bahwa 25% perusahaan yang disurvei berencana untuk berekspansi ke Indonesia dalam 2 tahun ke depan, sementara perusahaan-perusahaan yang telah beroperasi di Indonesia, 68% berencana akan memprioritaskan perkembangan usaha dalam jangka waktu tersebut, terutama perusahaan-perusahaan Australia dengan 31% akan memprioritaskan pertumbuhan, diikuti oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok (mainland China) (28%).

 

Lanskap Indonesia tersebut terbentuk karena pondasi Indonesia yang kokoh dan unik. Misalnya dari jumlah penduduk yang merupakan sepertiga dari total penduduk di ASEAN; sumber daya alam yang luas dan beragam; ekonomi yang cukup baik dan dukungan konsisten dari pemerintah terhadap kebijakan-kebijakan yang mendukung investasi dan aliran investasi asing langsung (FDI) ke Indonesia. Selain itu perkembangan teknologi digital yang pesat turut membantu semakin kokohnya pondasi Indonesia.

 

Kondisi tersebut merupakan amunisi bagi Indonesia mencapai Indonesia Emas pada tahun 2045. Perjalanan Indonesia menuju pertumbuhan ekonomi telah signifikan diperkuat oleh lingkungan pemerintah dan regulasi yang mendukung. Langkah-langkah proaktif telah diambil untuk menciptakan iklim yang menguntungkan baik untuk bisnis dalam negeri maupun asing. Reformasi dan inisiatif telah mengarah pada penyederhanaan prosedur regulasi dan mengurangi hambatan birokratis, yang semuanya memiliki dampak positif pada FDI yang mencapai USD 43 miliar pada tahun 2022, yang didominasi oleh sektor pertambangan logam dan pertambangan yang mencapai lebih dari USD 16 miliar secara bersamaan.

 

Di tengah latar belakang ini, ada pergeseran global menuju ekonomi hijau, dan dorongan yang tak kenal lelah menuju keberlanjutan dalam operasi bisnis dan tingkat pengembalian yang berkelanjutan. Indonesia telah memulai perjalanan dekarbonisasi, dengan peraturan yang dikeluarkan untuk mencapai emisi karbon netral pada tahun 2060. Menurut Badan Energi Internasional, ini akan memerlukan Indonesia untuk menggandakan investasi energi terbarukan menjadi USD 8 miliar per tahun hingga akhir dekade ini. Dorongan ini termasuk dari inisiatif Indonesia Carbon Exchange yang baru saja diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo.

 

Dalam perjalanan Indonesia menuju nol karbon, beberapa aksi diambil untuk elektrifikasi sektor mobilitas. Sekitar 115 juta sepeda motor dan 16 juta mobil empat roda Indonesia berkontribusi sekitar 40% dari total konsumsi energi dan merupakan salah satu penyumbang kualitas udara yang buruk, terutama di kota-kota besar.

 

Hal ini membuka peluang di sektor kendaraan listrik (EVs) yang semakin berkembang berkat dukungan dari pemerintah. Kondisi ini menguntungkan Indonesia karena Indonesia merupakan produsen bijih nikel terbesar di dunia dan sumber utama tembaga, kobalt, dan bauksit, yang semuanya penting untuk produksi baterai EV. Dengan demikian, diantisipasi akan hadir banyak peluang untuk membangun ekosistem pertambangan, pengolahan dan penyediaan pasokan yang terintegrasi, dengan perkiraan investasi di sektor logam dan EV mencapai USD 78 miliar.

 

Selain elektrifikasi sektor mobilitas, Indonesia juga sedang memperhatikan kebutuhan industri, termasuk pembangkit listrik, untuk beralih dari penggunaan bahan bakar fosil (misalnya batu bara) ke sumber energi alternatif. Hal ini tercermin dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) Indonesia yang memiliki tujuan jangka panjang yaitu 28% energi baru dan terbarukan, 25% gas, 47% batubara, dan 0,1% minyak untuk konsumsi listrik, serta pembentukan Just Energy Transition Partnership (JETP).

 

Adapun implementasi JETP dengan nilai pendanaan sebesar USD 20 milyar atau setara dengan 300 triliun rupiah berasal dari investasi publik dan swasta dalam bentuk hibah dan pinjaman bunga rendah, diharapkan dapat mempercepat dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan dengan target yaitu: Peaking emisi sektor ketenagalistrikan diproyeksikan terjadi pada tahun 2030, lebih cepat dari proyeksi awal; Emisi sektor ketenagalistrikan tidak melebihi 290 juta ton CO2 di tahun 2030, lebih rendah 67 juta ton CO2 dibandingkan nilai baseline BaU sebesar 357 juta ton CO2; Net zero emissions sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050, lebih cepat 10 tahun dari proyeksi awal; Mempercepat pemanfaatan energi terbarukan setidaknya 34% bersumber dari energi terbarukan pada 2030.