EmitenNews.com - Pemerintah menginisiasi program biodiesel B40. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memastikan siap memasok minyak sawit untuk kebutuhan program biodiesel B40 dalam negeri itu. Saat ini GAPKI dapat menyuplai crude palm oil (CPO) sampai 9,3 juta ton.


Dalam keterangannya yang dikutip Kamis (1/9/2022), Sekretaris Jenderal GAPKI, Eddy Martono memastikan pihaknya terbuka terhadap peninjauan khususnya untuk kenaikan blending sawit dari saat ini mencapai 30 persen atau B30 menjadi B40. GAPKI mengungkapkan, kebijakan tersebut dapat berdampak pada produk turunan sawit lainnya.


Menurut Eddy Martono, saat ini, jumlah pasokan CPO yang dapat disuplai oleh GAPKI mencapai 9,3 juta ton. Kebijakan tersebut, dapat membuat adanya penghitungan ulang antara produksi dengan kebutuhan pangan lokal, kebutuhan non-pangan lokal dan energi. "Supaya tidak terjadi kebutuhan pangan, saling bersaing dengan nonpangan dan energi."


Ke depan, dalam mempertahankan pasokan, Eddy Martono menyarankan berbagai pihak terkait turut berupaya meningkatkan produktivitas kebun masyarakat, di antaranya lewat replanting atau peremajaan. Menurut dia, penanaman kebun masyarakat sebelumnya, banyak terkontaminasi bibit palsu, yang mengakibatkan produktivitas rendah. Di samping itu, kata dia, tanaman kelapa sawit memang secara umur sudah saatnya diremajakan.


Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi penyaluran B30 hingga 27 Agustus 2022 mencapai 6,4 juta kiloliter atau naik 63 persen dari alokasi 10,15 juta kiloliter.


Indonesia tercatat sebagai negara pertama di dunia yang sudah mencampurkan energi terbarukan ke minyak solar mencapai 30 persen atau B30. Bandingkanlah misalnya dengan Argentina, Brasil dan Amerika Serikat, yang masing-masing baru memasuki skema B10, B12 dan B20.


Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan saat ini terdapat beberapa tantangan dalam pengembangan biodiesel di Indonesia. Di antaranya, insentif untuk menutup selisih harga indeks pasar (HIP) BBM dengan HIP Biodiesel yang masih bergantung kepada pungutan dana ekspor.


Kemudian, fluktuasi harga minyak sawit (CPO) dan minyak dunia, serta harga minyak bumi yang rendah dan tingginya harga CPO. Hal ini menyebabkan disparitas HIP antara harga bahan bakar nabati (BBN) dan BBM membesar. Beberapa bahan pendukung produksi Biodiesel masih bergantung impor.


Selain itu, masih ada keterbatasan infrastruktur pada beberapa wilayah seperti tangki penyimpanan pada titik serah terminal bahan bakar minyak (TBBM), fasilitas Jetty. Lainnya, ketersediaan kapal yang memenuhi syarat pengangkutan fatty acid methyl esther/ester metil asam lemak atau FAME.


Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) Paulus Tjakrawan mengatakan konsumsi biodiesel mempunyai tren positif dalam satu dasawarsa terakhir. Kecenderungan itu diikuti dengan pertumbuhan produksi yang pesat dalam 16 tahun terakhir. Sampai 2021, total kapasitas produksi terpasang mencapai 16,6 juta kiloliter.


Pemanfaatan biodiesel efektif untuk meningkatkan serapan sawit domestik ketika terjadi pelemahan permintaan di pasar global. Selain itu, penggunaan biodiesel membantu peningkatan kesejahteraan petani, setelah adanya keseimbangan antara konsumsi dan ekspor.


Kondisi itu yang menyebabkan terjadinya stabilitas harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani di dalam negeri. Bahkan, semenjak 2021 hingga Maret 2022, harga TBS petani rerata di atas Rp3.000 per kilogram. Paulus Tjakrawan mengatakan, tidak benar kalau dikatakan biodiesel menguntungkan korporasi. “Di lapangan, program ini juga menopang kenaikan harga buah sawit petani." ***