EmitenNews.com - Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) melalui Biro Kerja Sama Teknik Luar Negeri menggelar Rapat Koordinasi Kerja Sama Pembangunan Internasional pada Selasa (23/09/2025).

Bertempat di Pusat Pengembangan Kompetensi Aparatur Sipil Negara (PPKASN) Kemensetneg, forum ini membahas urgensi penguatan tata kelola dan integrasi kerja sama pembangunan Indonesia, baik sebagai penerima maupun pemberi bantuan internasional.

Kepala Biro Kerja Sama Teknik Luar Negeri (KTLN) Kemensetneg, Noviyanti, menegaskan bahwa Indonesia perlu segera memiliki platform tunggal yang mampu menampilkan posisi, rekognisi, dan pencapaian kerja sama pembangunan.

“Selama ini kita menghadapi tantangan berupa tumpang tindih program, keterbatasan orkestrasi, serta ketiadaan sistem data terintegrasi. Hal ini membuat koordinasi belum berjalan optimal,” ujarnya.

Noviyanti menjelaskan, perkembangan peran Indonesia dalam kerja sama internasional cukup signifikan. Sejak 1950-an, Indonesia berperan sebagai penerima bantuan, kemudian bertransformasi menjadi donor pada 1977, dan kini aktif dalam skema triangular cooperation.

“Transformasi ini menunjukkan posisi strategis Indonesia di tingkat global, namun juga menuntut tata kelola yang lebih modern dan transparan,” katanya.

Dalam forum tersebut, dibahas pula pentingnya strategi besar (grand design) kerja sama teknik luar negeri yang berorientasi pada kebutuhan Indonesia. Selama ini, sebagian besar program kerja sama masih mengikuti tawaran mitra, bukan berbasis pada demand survey yang jelas.

“Kita ingin mendorong mekanisme demand driven, sehingga program benar-benar menjawab kebutuhan nasional,” tegas Noviyanti.

Selain itu, rapat juga menyoroti pentingnya regulasi turunan yang mengatur tata kelola terintegrasi. Opsi yang muncul antara lain berupa Peraturan Presiden atau Keputusan Bersama. Regulasi ini dinilai krusial agar kerja sama pembangunan tidak berjalan secara parsial.

Menurut Noviyanti, koordinasi lintas kementerian dan lembaga juga perlu diperkuat melalui forum rutin atau steering committee. “Kerja sama internasional melibatkan banyak aktor, mulai dari kementerian, pemerintah daerah, hingga sektor swasta. Tanpa forum koordinasi yang solid, potensi duplikasi program sangat besar,” jelasnya.

Isu fasilitas bagi mitra pembangunan asing juga menjadi sorotan. Saat ini, pemberian kemudahan seperti fasilitas perpajakan, imigrasi, maupun bea masuk masih bersifat ad hoc. “Ke depan perlu ada paket fasilitasi yang baku, sehingga mitra mendapatkan kepastian sekaligus menjaga kepentingan nasional,” kata Noviyanti.

Dalam konteks branding dan diplomasi, Indonesia diharapkan dapat memperkuat narasi tunggal mengenai kontribusinya di bidang pembangunan internasional. Hal ini termasuk upaya mempromosikan keunggulan Indonesia di sektor pendidikan, energi terbarukan, pemberdayaan perempuan, hingga penanggulangan bencana.

Rapat juga menekankan pentingnya sistem monitoring dan evaluasi (monev) yang terstandar, baik untuk mengukur kontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) maupun citra positif Indonesia di dunia internasional. “Monev bukan sekadar administrasi, tapi instrumen untuk memastikan manfaat program benar-benar dirasakan oleh Indonesia dan mitra kita,” ujar Noviyanti.

Dengan berbagai rekomendasi tersebut, Kemensetneg berharap tata kelola kerja sama pembangunan internasional ke depan dapat berjalan lebih efektif, inklusif, dan berkelanjutan. “Penguatan koordinasi ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga tentang bagaimana Indonesia menempatkan diri sebagai aktor penting dalam pembangunan global,” tutup Noviyanti.

Dihadiri oleh sejumlah kementerian/lembaga dengan tugas terkait pengelolaan kerja sama internasional, acara ini berlangsung dengan interaktif dengan pemilihan topik diskusi yang terbagi menjadi 5 kelompok.(*)