EmitenNews.com - 

Keren ini. Di depan peserta seminar olleh Ikatan Alumni ITB 1978, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengemukakan kekesalannya atas akal-akalan Singapura. Ia bercerita soal permintaan negeri jiran itu, ke Indonesia untuk ekspor listrik Energi Baru Terbarukan (EBT). Dengan permintaan itu, Menko LBP menganggap Singapura brengsek. Karena itu Indonesia tolak mentah-mentah. 

 

Dalam seminar yang digelar Ikatan Alumni ITB angkatan 1978 di The Westin Jakarta, Selasa (9/5/2023), Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, penolakan tegas itu dilakukan, karena Indonesia baru mau mengekspor listrik EBT jika proyeknya berada di Tanah Air.

 

"Singapura minta supaya kita ekspor listrik clean energy. Kita nggak mau, saya bilang nggak mau. Mau kalau proyeknya di kita," kata Luhut Binsar Pandjaitan seperti dikutip Sabtu (13/5/2023).

 

Di hadapan para alumni ITB itu, Luhut tegas mengatakan Indonesia tidak bisa diatur begitu saja. "Jadi, jangan kau yang atur. Ini kan brengsek Singapura. Ini dia pikir kita bodoh aja, tender ke perusahaan-perusahaan kita. Emang gua pikirin." 

 

Belum lama ini, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE ) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana mengungkapkan, potensi Indonesia mengekspor keperluan listrik hijau atau energi baru terbarukan (EBT) ke Singapura. Potensi pasokan EBT di Indonesia sangat besar secara nasional hingga 3.600 sampai 3.700 giga watt.

 

Jika dibandingkan dengan keperluan listrik Indonesia pada 2060 untuk 40 tahun ke depan 700 megawatt. Dari situ bisa dihitung seberapa besar yang bisa diekspor. Meski begitu, angkanya tidak bisa dikurangkan langsung karena yang kita butuhkan bukan megawatt, tetapi satuan listrik dalam satuan kWh. 

 

“Tetapi secara garis besar kita punya potensi yang besar, ekspor ke Singapura," kata Dadan Kusdiana.

 

Pada bagian lain uraiannya, Luhut juga menyinggung kebijakan Indonesia saat ini mengedepankan hilirisasi nikel. Meskipun sulit untuk mengalahkan China karena cukup kompetitif. "Jadi sekarang policy di Indonesia itu policy nikel. Nggak bisa bersaing ke China karena China very competitive, hanya bisa bersaing kalau AS ikut." ***