EmitenNews.com - Pemerintah dan asosiasi sepakat terus mendongkrak inklusi keuangan, agar semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan fintech, dan di sisi lain juga meningkatkan literasi keuangan digital. Inklusi keuangan digital yang ditunjang literasi keuangan memadai bisa menjadi indikator pemahaman masyarakat terhadap fasilitas maupun risiko produk dan layanan fintech. Sektor keuangan digital akan tumbuh delapan kali lipat di 2030, dari sekitar Rp600 triliun menjadi Rp4.500 triliun.


Dalam sambutannya pada hari terakhir The 3rd Indonesia Fintech Summit (IFS) 2021 di Nusa Dua, Bali, kemarin, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengungkapkan pentingnya upaya-upaya peningkatan literasi, sembari mendorong peningkatan model bisnis yang ditopang kebijakan yang afirmatif.


“Seluruh pemangku kebijakan, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKominfo), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan asosiasi-asosiasi, saya minta berperan aktif dalam membantu terciptanya kebijakan yang afirmatif. Kita ingin bersama-sama memajukan industri ekonomi dan keuangan digital yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” kata Wapres Ma’ruf Amin.


Fintech terbukti berkontribusi positif dan mampu membawa Indonesia memimpin ekonomi digital di Asia Tenggara, bahkan dunia. Upaya-upaya ini tidak lain untuk menyambut perkembangan fintech di masa depan. Wapres juga mengutip proyeksi Kementerian Perdagangan (Kemendag), sektor keuangan digital akan tumbuh delapan kali lipat pada 2030, dari sekitar Rp600 triliun menjadi Rp4.500 triliun.


Sementara itu, pada sambutannya yang bertema “Innovation and Investment in Indonesia’s Digital Economy and Finance Ecosystem (Inovasi dan Investasi dalam Ekonomi Digital dan Ekosistem Keuangan Indonesia)”, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut B. Panjaitan menyatakan bahwa tingkat inklusi keuangan digital di Indonesia sudah berada pada indikator sangat baik.


Sayangnya, grafik tersebut belum ditunjang dengan tingkat literasi keuangan, yang menurut Luhut, masih sangat jauh dibanding negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Ia mengutip data Otoritas Jasa Keuangan pada 2019 Indeks Literasi Keuangan baru mencapai 38,03 persen dan Indeks Inklusi Keuangan 76,19 persen.


Tingkatan seperti itu, menurut Menko LBP, berbanding jauh dari Singapura di angka 98 persen, Malaysia 85 persen, dan Thailand 82 persen. Tingkat inklusi tinggi dengan literasi rendah menunjukkan potensi risiko begitu tinggi. Karena, meski masyarakat memiliki akses keuangan, sebenarnya mereka tidak memahami fungsi dan risikonya.


“Peningkatan literasi menjadi kunci agar tingkat inklusi yang sudah terjadi bisa berdampak lebih produktif dengan risiko minim. Inilah yang jadi pekerjaan kita bersama, antara pemerintah dan asosiasi,” kata Luhut Binsar Pandjaitan.


Seperti diketahui IFS 2021 yang digelar secara hybrid selama dua hari,  berhasil mengumpulkan lebih dari 80 pembicara nasional dan global. Salah satu pembicara yang ikut urun gagasan adalah Permaisuri Belanda, Queen Maxima, yang juga adalah Advokat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Keuangan Inklusif untuk Pembangunan.


Pada pidato berjudul “Digital Finance Innovation Role in Increasing Global Financial Inclusion (Peran Inovasi Keuangan Digital dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan Global)”, Queen Maxima menekankan, pemerintah punya peranan sangat penting untuk mengembangkan visi untuk masa depan dunia digital, termasuk mengidentifikasi tata kelola yang dibutuhkan dan infrastruktur yang dibutuhkan.


“Memberikan infrastruktur yang terstandardisasi akan sangat mendukung sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Salah satunya yang telah dilakukan di Indonesia dengan inovasi QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang diluncurkan di 2019,” ujarnya.


Queen Maxima menambahkan, agar pelaku fintech di Indonesia berhati-hati pula seiring dengan makin majunya inovasi teknologi. Teknologi yang maju, misalnya dengan kehadiran super-app, akan makin meningkatkan celah risiko. Para pemangku kepentingan, harus terus memantaunya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memitigasi risiko-risiko yang ada.


“Antisipasi-antisipasi terhadap risiko ini dapat dilakukan dengan kolaborasi erat bersama asosiasi-asosiasi yang kuat, seperti yang telah dimiliki di Indonesia,” tambahnya. ***