EmitenNews.com - PT Asuransi Jiwasraya sudah dalam keadaan insolven sejak tahun 1998. Mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim mengatakan, perusahaan sejak lama sudah dalam keadaan tidak memiliki cukup dana untuk melunasi utang. Terpidana ini malah menggambarkan Jiwasraya sudah lima kali bangkrut.

Terpidana kasus Jiwasraya Hendrisman Rahim mengemukakan hal tersebut saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam kasus korupsi Jiwasraya dengan terdakwa mantan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan sekaligus mantan Kepala Biro Perasuransian pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), Isa Rachmatarwata. 

Hendrisman Rahim mengungkapkan hal tersebut menjawab pertanyaan Hakim Ketua Sunoto, dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (28/10/2025). 

Pada tahun 2008, Jiwasraya sempat mengajukan upaya untuk revaluasi aset. Namun, langkah ini ditolak oleh Isa Rachmatarwata, karena tidak memberikan keuntungan atau efek positif bagi perusahaan. 

“Jadi, revaluasi aset kami usul ke Pak Isa, itu bisa dilakukan. Tapi, Pak Isa keberatan karena revaluasi aset, itu bukan semu. Kekayaan naik, tapi bentuk kas enggak ada. Jadi, cuma harga yang naik di buku. Itu kalau evaluasi. Dan, kita bayar pajak lagi, keluar duit,” ujar Hendrisman. 

Menjawab JPU soal kondisi Jiwasraya saat itu, terutama soal kendala keuangan yang dihadapi menurut Hendrisman, Jiwasraya sempat meminta bantuan berupa penanaman modal dari pemerintah. Namun, permintaan ini tidak ditindaklanjuti karena pemerintah juga tidak memiliki uang untuk memperbaiki kondisi Jiwasraya. 

Hendrisman mengungkapkan, selama beroperasi, Jiwasraya bisa dikatakan sudah bangkrut hingga lima kali sehingga butuh bantuan dari pemerintah. 

Dalam kasus korupsi Jiwasraya ini, JPU mendakwa Isa Rachmatarwata telah menyebabkan kerugian keuangan negara senilai Rp90 miliar. Kerugian keuangan negara ini merupakan uang yang diterima dua perusahaan reasuransi untuk membuat kondisi PT Asuransi Jiwasraya seolah-olah sehat atau solvent. 

Perbuatan melawan hukum ini terjadi saat Isa masih menjadi Kepala Biro Perasuransian pada Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan). Pengerjaan reasuransi ini dilakukan oleh dua perusahaan asing. Masing-masing mendapatkan pembayaran berbeda sesuai proyek yang dikerjakan.

“Reassurance Fund yang dibayarkan ke Provident Capital Indemnity yang dibayarkan pada tanggal 12 Mei 2010 dengan jumlah Rp50 miliar,” kata Jaksa. 

Kemudian, PT AJS juga membayar jasa reasuransi kepada Best Meridien Insurance Company dengan dua kali pembayaran, yaitu 12 Mei 2012 sejumlah Rp24 miliar dan tanggal 25 Januari 2013 dengan jumlah Rp16 miliar. 

Jaksa mengatakan, reasuransi yang disetujui oleh Isa ini hanya formalitas dan tidak memiliki substansi ekonomi. Sebab, PT AJS masih menanggung sejumlah risiko bisnis. Tapi, masih kata jaksa, secara akuntansi mengakui seolah-olah risiko sudah dialihkan dan pendapatan dari asuransi. 

Selain menyetujui soal rencana reasuransi, Isa juga menyetujui beberapa produk saving plan yang justru membebani PT AJS dengan suku bunga tinggi. 

Produk-produk saving plan ini pada akhirnya tidak memberikan hasil menguntungkan dan justru menimbulkan utang, per 31 Desember 2019, senilai Rp12,2 triliun. 

Jaksa menjelaskan bahwa persetujuan yang diberikan Isa ini masih satu rangkaian dari kasus korupsi Jiwasraya yang menjerat Benny Tjokrosaputro dan kawan-kawan. 

Pokok permasalahan dalam kasus yang menjerat Benny Tjokro adalah soal investasi reksadana yang pada akhirnya tidak memberikan keuntungan bagi negara. Jaksa menyebutkan kasus itu justru menyebabkan kerugian keuangan negara Rp16,8 triliun. 

Jaksa mendakwa Isa Rachmatarwata telah melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. ***