EmitenNews.com - Ini versi Direktur Utama Krakatau Steel (KRAS) Silmy Karim mengenai proyeknya yang mangkrak. Nilai investasi proyek-proyek tersebut mencapai triliunan rupiah. Silmy Karim menyampaikan, pada 2008 pihaknya memulai pengadaan proyek Blast Furnace Complex di Cilegon, Banten, untuk memberikan input hot metal dalam fasilitas ironmaking eksisting berbasis gas alam. Komisi VII DPR akan menginvestigasi proyek mangkrak tersebut.


Tidak main-main, ruang lingkup proyek ini, pembangunan 4 pabrik utama terintegrasi, yaitu sinter plant, coke oven plant, blast furnace plant, dan hot metal treatment plant.


Penandatanganan Engineering Procurement and Construction (EPC) dimulai pada 15 November 2011, kemudian proses peletakan batu pertama (groundbreaking), Juli 2012, dilanjutkan dengan proses konstruksi. Pabrik blast furnace ini beroperasi secara komersial pada 11 Juli 2019. Tetapi, dihentikan pada 14 Desember 2019. Sayang sekali tentu saja. Pasalnya, nilai investasi pabrik ini mencapai Rp8,5 triliun, termasuk di dalamnya nilai EPC sebesar Rp6,9 triliun.


Pabrik ini dapat menghasilkan 1,2 juta ton hot metal dan pig iron per tahun, produk akhirnya adalah slab metal. Sayangnya, Silmy Karim mengungkapkan, terjadi ketidakcocokan antara produksi slab dengan harga produk tersebut di pasar, sehingga KRAS berpotensi merugi jika pabrik blast furnace ini terus beroperasi.


“Proyek ini sangat menguras kemampuan keuangan Krakatau Steel. Belum lagi utang yang ditimbulkan dari proyek ini dan harus direstrukturisasi,” kata Silmy Karim dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Senin (14/2/2022), yang berujung pengusiran itu.


Kementerian BUMN mengarahkan pihak KRAS untuk menyelesaikan masalah proyek blast furnace ini dari sisi hukum. KRAS pun telah menyerahkan info yang dibutuhkan kepada Kejaksaan Agung untuk melihat adanya potensi penyimpangan pada proyek tersebut. Dalam waktu dekat Kejaksaan Agung akan memberikan kesimpulan dan langkah lebih lanjut.


Dari segi bisnis, KRAS berencana kembali mengoperasikan pabrik blast furnace dengan melakukan upaya optimalisasi proses arsitektur produksi fasilitas hulu iron and steelmaking. Fasilitas blast furnace ini rencananya akan ditambahkan rute basic oxygen furnace sehingga rute produksi menjadi efisien.


Manajemen KRAS sedang menjalani proses pencarian investor atau mitra untuk mengoperasikan kembali fasilitas iron steel making tersebut. Silmy Karim menyebutkan, sudah ada beberapa pihak asing yang berminat kerja sama di iron steel making Krakatau Steel.


Proyek Krakatau Steel lainnya yang juga juga bermasalah, adalah pabrik ironmaking atau pengolahan besi berbasis rotary kin di Kalimantan Selatan, berkapasitas 315.000 ton per tahun besi spoons.


Untuk merealisir proyek ini, KRAS menggandeng PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), dengan membentuk perusahaan patungan bernama PT Meratus Jaya Iron & Steel pada tahun 2008. KRAS memiliki salah mayoritas, mencapai 66 persen.


Proses konstruksi proyek pabrik ironmaking ini dimulai pada 2009, dan produksi dimulai November 2012. Proyek dengan nilai investasi Rp1,2 triliun ini, memiliki 2 unit rotary kiln, pabrik ini juga dilengkapi 2 unit PLTU berkapasitas 2x14 MW dengan memanfaatkan energi panas dari gas buang proses rotary kiln.


Sayangnya, pabrik ini pun harus dihentikan produksinya pada 12 Juli 2015. Silmy Karim menyebutkan, pabrik ironmaking ini berada di lokasi yang kurang strategis karena jauh dari laut atau sekitar 20—30 kilometer dari bibir pantai.


Akses menuju pantai menggunakan jalan provinsi dianggap tidak efisien dan membutuhkan biaya transportasi yang tinggi. Di luar itu, tanah yang digunakan bukan milik Meratus Jaya Iron & Steel, melainkan milik Pemda Kalimantan Selatan sehingga perusahaan ini sulit melakukan pembebasan lahan.


Kondisi pasar baja di periode 2014-2015 juga sedang mengalami tren penurunan, sehingga Meratus Jaya Iron & Steel kesulitan bersaing. Belum cukup, jumlah bahan baku besi dengan spesifikasi yang sesuai juga terbatas, sehingga tidak memberi nilai tambah optimal ketika diolah di pabrik. Operasionalnya dihentikan sejak 2015, dan saat ini sedang dalam proses likuidasi.


Sementara itu pihak Komisi VII DPR RI akan menginvestigasi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS). Hal itu diwacanakan pasca pengusiran Silmy Karim saat rapat dengar pendapat (RDP), Senin (14/2/2022). Kalangan DPR akan melakukan investigasi terhadap pabrik blast furnace yang sudah selesai dibangun tapi tidak beroperasi alias mangkrak.


"Kami sepakati akan lakukan investigasi khusus untuk Krakatau Steel," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Haryadi, Senin, yang mengusir Silmy Karim setelah bersitegang dalam proses tanya-jawab. ***