Tujuannya, memenangkan pesawat Bombardier dalam pemilihan armada di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. 


Dasar menangkan pesawat Bombardier

Emirsyah Satar bersama Hadinoto Soedigno dan Agus Wahjudo bersepakat dengan Soetikno Soedarno dan Bernard Duc meminta pihak Bombardier membuat data-data analisa tentang kelebihan pesawat Bombardier CRJ-1 000 dibandingkan dengan Embraer E-190 berdasarkan perhitungan Net Present Value (NPV) dan Route Result pada kiteria economic sebagai dasar memenangkan pesawat Bombardier dalam pemilihan armada di PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. 

 

Menurut Jaksa, Emirsyah Satar bersama dengan Agus Wahjudo dan Hadinoto Soedigno juga melakukan persekongkolan dengan Soetikno Soedarjo untuk memenangkan Bombardier dan ATR dalam pemilihan pengadaan pesawat pada PT. Garuda Indonesia. 

 

Padahal, jenis pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 tidak sesuai konsep bisnis Garuda Indonesia sebagai perusahaan penerbangan yang menyediakan layanan full service. 

 

Emirsyah Satar bersama Albert Burhan, M Arif Wibowo dan Hadinoto Soedigno memberikan persetujuan untuk pengadaan pesawat Turbopropeller tanpa ada feasibility study yang memadai serta belum ditetapkan dalam RJPP maupun RKAP. 

 

“Tipe pesawat tersebut tidak sesuai sistem layanan penerbangan Low Cost Carrier PT. Citilink Indonesia yang kemudian dalam pengadaannya diambil alih oleh PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk,” papar Jaksa. 

 

Masih kata jaksa, Emirsyah Satar bersama dengan Albert Burhan juga melakukan Pembayaran Pre Delivery Payment (PDP) Pembelian Pesawat ATR 72-600 kepada Manufactur ATR sebesar USD3.089.300,00. Ini melanggar lagi, karena mekanisme pengadaan ATR dilakukan secara Sewa. 

 

Atas pebuatannya, JPU menjerat Emirsyah Satar dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana. ***