Menakar Wacana Sesi 3 Perdagangan di BEI: Belajar dari Bursa AS

papan di perdagangan di Bursa Efek Indonesia menunjukkan IHSG sedang mengalami koreksi di sesi 1 perdagangan. Foto/ Rizki EmitenNews
EmitenNews.com -Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah mewacanakan penambahan sesi 3 perdagangan di pasar modal Indonesia. Wacana ini menarik perhatian pelaku pasar karena akan mengubah pola aktivitas transaksi yang selama ini berlangsung hanya hingga sore hari. Menariknya, langkah ini mengacu pada praktik bursa saham di Amerika Serikat, seperti New York Stock Exchange (NYSE) dan NASDAQ, yang telah lama menerapkan sistem perdagangan di luar jam reguler.
Langkah ini tentu patut diapresiasi sebagai bentuk inovasi dan adaptasi terhadap dinamika global. Namun, sebelum wacana ini benar-benar diimplementasikan, ada baiknya kita melihat praktik yang sudah berjalan di pasar modal AS serta tantangan yang perlu diantisipasi.
Belajar dari Amerika Serikat: Tiga Sesi Perdagangan
Di Amerika Serikat, bursa saham utama seperti NYSE dan NASDAQ membagi perdagangan menjadi tiga sesi yaitu pre-market session, regular session, dan, after hours trading. Pre-market session (04.00 – 09.30 waktu New York) digunakan oleh pelaku pasar institusional untuk merespons berita global atau laporan keuangan sebelum pasar resmi dibuka. Regular session (09.30 – 16.00) merupakan jam perdagangan utama, mirip dengan jam perdagangan di BEI saat ini. After-hours trading (16.00 – 20.00), di sinilah konsep sesi 3 berasal.
After-hours digunakan oleh investor untuk merespons informasi yang muncul setelah jam perdagangan reguler, seperti laporan keuangan atau pernyataan dari bank sentral AS (The Fed). Dengan sistem ini, pasar modal AS mampu menawarkan fleksibilitas waktu, memberi ruang respons yang lebih cepat terhadap informasi pasar, serta memfasilitasi investor global yang berada di zona waktu berbeda.
Apakah Indonesia Siap?
Meski menjanjikan, implementasi sesi 3 juga membawa sejumlah tantangan krusial yang perlu dikaji secara menyeluruh. Pertama, dari sisi likuiditas, perlu diakui bahwa perdagangan after-hours di Amerika Serikat pun kerap menghadapi volume transaksi yang lebih rendah serta spread harga yang lebih lebar dibanding jam reguler. Di Indonesia, risiko ini bisa lebih menonjol, mengingat aktivitas pasar masih sangat terkonsentrasi di sesi reguler dan didominasi oleh investor ritel. Minimnya pelaku pasar aktif di malam hari bisa menimbulkan ketidakseimbangan permintaan dan penawaran, yang pada akhirnya memicu volatilitas tak wajar.
Kedua, kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia harus menjadi prioritas utama. Sistem perdagangan harus dijamin memiliki keandalan tinggi tanpa downtime, dengan pengawasan yang tetap berjalan optimal di luar jam kerja normal. Ini membutuhkan koordinasi erat antara BEI, KSEI, KPEI, OJK, serta perusahaan efek dan penyedia teknologi. Selain itu, kapasitas sumber daya manusia di seluruh lini—baik teknis maupun operasional—harus ditingkatkan agar sesi malam dapat berjalan lancar dan aman.
Ketiga, dari sisi perlindungan investor ritel, perlu dilakukan edukasi dan literasi keuangan secara masif. Banyak investor ritel belum memahami risiko karakteristik perdagangan malam, seperti reaksi spontan terhadap berita global, spread yang melebar, serta keterbatasan informasi pasar. Tanpa edukasi memadai, mereka rentan mengambil keputusan investasi secara emosional, yang justru merugikan mereka sendiri.
Potensi Manfaat Jangka Panjang
Meski wacana pembukaan sesi 3 perdagangan di BEI masih menuai pro dan kontra, tak dapat dimungkiri bahwa langkah ini menyimpan potensi manfaat strategis dalam jangka panjang. Seiring dengan bertumbuhnya jumlah investor ritel di Indonesia yang sebagian besar didominasi generasi muda, pasar modal nasional menghadapi tuntutan untuk menjadi lebih inklusif, fleksibel, dan responsif terhadap perubahan global. Dalam konteks ini, kehadiran sesi perdagangan tambahan setelah jam reguler dapat menjadi solusi adaptif terhadap dinamika pasar global yang terus bergerak 24 jam. Ketika pasar Eropa dan Amerika Serikat mulai aktif pada malam hari waktu Indonesia, pelaku pasar domestik saat ini tidak memiliki ruang untuk bereaksi secara langsung terhadap berbagai sentimen global, seperti rilis data ekonomi, kebijakan suku bunga, atau pergerakan harga komoditas. Dengan adanya sesi 3, investor Indonesia memiliki peluang untuk menyesuaikan portofolionya secara real-time, tanpa harus menunggu pembukaan pasar di pagi hari berikutnya.
Selain meningkatkan efisiensi waktu, sesi tambahan juga dapat mendorong peningkatan volume transaksi harian di bursa. Bagi perusahaan sekuritas, hal ini berarti potensi pertumbuhan pendapatan dari komisi transaksi, sementara bagi BEI sendiri, ini akan memperkuat daya saing sebagai platform perdagangan yang aktif dan relevan. Dari sisi internasional, sesi 3 juga membuka kesempatan untuk menarik minat investor asing, terutama mereka yang berada di zona waktu berbeda. Saat ini, sebagian investor global melewatkan peluang di pasar Indonesia karena keterbatasan jam perdagangan yang tidak selaras dengan waktu kerja mereka. Sesi malam bisa menjadi jembatan yang memperluas akses mereka terhadap instrumen pasar modal Indonesia, baik dalam bentuk saham, ETF, maupun derivatif.
Tak kalah penting, kehadiran sesi 3 dapat mendorong inovasi produk dan layanan digital di sektor pasar modal. Platform perdagangan online akan berlomba menyediakan fitur-fitur baru yang mendukung perdagangan malam hari, sementara regulator dan pelaku industri dapat bekerja sama untuk memperkuat perlindungan investor, sistem keamanan data, dan infrastruktur transaksi secara menyeluruh. Jika dirancang dan diimplementasikan secara hati-hati, sesi 3 bukan sekadar penambahan jam perdagangan, melainkan langkah transformasional untuk mengakselerasi modernisasi pasar modal Indonesia.
Maju dengan Tetap Hati-hati
Wacana penambahan sesi 3 perdagangan di BEI patut diapresiasi sebagai bentuk inovasi dalam menghadirkan pasar modal yang adaptif dan responsif. Namun, implementasi kebijakan ini harus dilakukan secara bertahap, disertai uji coba terbatas, komunikasi yang transparan, serta edukasi yang menyeluruh kepada investor.
Kita bisa belajar dari bursa Amerika, tapi tetap harus menyesuaikannya dengan karakteristik pasar domestik. Dengan pendekatan yang bijak, wacana ini bisa menjadi pijakan penting menuju pasar modal Indonesia yang lebih modern, efisien, dan inklusif.
Related News

Bagaimana AI Mengubah Investor Saham Melakukan Analisa Fundamental

BI Rate Turun, Ini Sektor-Sektor yang Siap Terbang

Penurunan BI Rate ke 5,5 Persen: Angin Segar untuk Pasar Saham?

Obligasi FR: Jangan Beli Kalau Belum Baca Ini

Bagaimana AI Mengubah Investor Saham Lakukan Due Diligence dan Analisa

Di Antara Pilihan Investasi Saham atau Emas