EmitenNews.com - Masih ingat Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang resmi disahkan DPR menjadi UU pada rapat paripurna, Senin (5/10/2020) itu, implikasi pemberlakuannya sangat menguntungkan pengusaha batu bara. Akibatnya, menurut Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, negara kehilangan potensi penerimaan sampai Rp25 triliun per tahun.

Pasalnya, UU Ciptaker menetapkan bahwa batu bara menjadi Barang Kena Pajak (BKP), yang pada akhirnya berkonsekuensi terhadap mekanisme restitusi pajak bagi pengusaha batu bara. Dari situ menggerus penerimaan negara mencapai Rp25 triliun/tahun.

"Pada waktu UU Ciptaker diterapkan 2020, menguat status batu bara dari nonbarang kena pajak menjadi barang kena pajak. Akibatnya, industri batu bara bisa minta restitusi PPN ke pemerintah, itu sekitar Rp25 triliun/tahun," ujar Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa dalam rapat bersama Komisi XI DPR di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip Selasa (9/12/2025).

Jadi, meski ada sejumlah biaya lainnya yang turut membebani industri batu bara, termasuk kontribusi pajak lain, dalam catatan Purbaya, negara tetap mengalami defisit ketimbang besaran keuntungan yang didapatkan pengusaha.

Menkeu Purbaya menuding UU yang diundangkan sejak 5 tahun lalu tersebut menjadikan pemerintah seolah-olah memberikan subsidi lebih banyak kepada pengusaha emas hitam tersebut.

"Walaupun mereka ada cost-nya digelembungkan, net income kita dari industri batu bara bukannya positif, malah dengan pajak segala macam jadi negatif. Jadi UU itu seperti pemerintah memberikan subsidi ke industri yang sudah untungnya banyak," tutur mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan itu.

Akibat lebih besarnya, skema restitusi tersebut juga belakangan telah membuat capaian penerimaan negara saat ini makin berkurang. Purbaya mengklaim penerimaan pajak menurun karena restrukturisasi cukup besar.

Sebelumnya Kementerian Keuangan melaporkan realisasi penerimaan pajak negara hingga akhir Oktober 2025 mengalami penurunan hingga mencapai 3,85% secara tahunan atau year-on-year (yoy) menjadi Rp1.459,03 triliun.

Penyebab utamanya, program restitusi pajak yang ditetapkan oleh pemerintah sepanjang tahun ini yang mengalami kenaikan hingga 36,4% atau menjadi Rp340,52 triliun dari sebelumnya Rp249,659 triliun.

"Kontraksi yang terjadi di penerimaan neto kami, ini yang terkoreksi oleh dampak restitusi. Kami laporkan sampai Oktober 2025 restitusi melonjak sekitar 36,4%," ujar Dirjen Pajak Bimo Wijayanto, belum lama ini.

Lonjakan restitusi terjadi pada pajak penghasilan (PPh) badan dengan realisasi mencapai Rp93,80 triliun naik 80% yoy dibandingkan sebelumnya yang Rp52,13 triliun.

Kemudian, realisasi restitusi pajak pertambahan nilai dalam negeri (PPN DN) juga naik 23,9% menjadi Rp238,8 triliun dari sebelumnya yang masih Rp192,71 triliun. Jenis pajak lainnya juga naik 65,7% yoy menjadi Rp7,87 triliun.

Satu hal, Dirjen Bimo menggarisbawahi lonjakan restitusi tersebut mampu mendongkrak pergerakan ekonomi masyarakat. Itu lantaran penerimaan yang seharusnya diambil negara kembali ke kas perusahaan atau pribadi. 

"Restitusi ini artinya uang kembali ke masyarakat, sehingga kas yang diterima, termasuk ke private sector itu bertambah dan diharapkan meningkatkan aktivitas perekonomian," tutur Dirjen Pajak Bimo Wijayanto.

UU Omnibus Law tentang Cipta Kerja, usulan pemerintah dimulai 17 Desember 2019

Menarik diketahui, Rancangan Undang-Undang atau RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diusulkan oleh (ketika itu) Presiden Joko Widodo merupakan bagian dari RUU Prioritas Tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020. UU Ciptaker resmi disahkan DPR menjadi Undang-Undang pada rapat paripurna, Senin (5/10/2020). 

Istilah omnibus law pertama kali muncul dalam pidato perdana Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya (2019-2024), Minggu (20/10/2019). Tetapi, perjalanan UU Omnibus Law tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) usulan pemerintah sudah dimulai sejak 17 Desember 2019.