Harapannya, dengan pemahaman meningkat, membuat masyarakat bisa meningkatkan kewaspadaan dan terhindar dari ancaman kejahatan siber. Seperti; tidak membuka email yang terkontaminasi virus, tidak menginstall aplikasi yang tidak jelas, tidak membuka aplikasi yang dikirim pihak lain di sosial media, dan sebagainya.

 

Selain itu, bagi pelaku usaha dan instansi pemerintah, agar senantiasa meningkatkan keamanan sistem TI nya, dengan mengalokasikan anggaran untuk penggunaan sistem yang mumpuni, termasuk hingga pemeliharaan keamanan sistemnya.

 

“Membeli aplikasi keamanan TI tidak bisa beli putus. Keamanan TI harus dilihat jangka panjang, termasuk memikirkan anggaran untuk pemeliharaan. Hal itu seringkali luput dari pemikiran instansi pemerintah dan pelaku usaha,” ucapnya.

 

Indonesia sebenarnya bisa mencontoh, sejumlah negara dalam Uni Eropa (UE) yang saling bersinergi untuk memerangi serangan siber. UE menerapkan kebijakan sertifikasi keamanan siber yang seragam kepada pelaku usaha dan masyarakat di seluruh negara anggota. Sertifikasi keamanan siber tersebut, selanjutnya dikelola sebuah lembaga yang diberi kewenangan kuat.

 

Lembaga tersebut selanjutnya menetapkan standar keamanan siber, khususnya di sektor strategis, seperti transportasi, keuangan, kesehatan dan energi. Tak heran, saat ini, UE memiliki lebih dari 60.000 perusahaan keamanan siber dan lebih dari 660 pusat keahlian keamanan siber.