Prospek Cemerlang Saham-Saham Sektor Properti BEI
papan perdagangan di Bursa Efek Indonesia. Foto/Rizki EmitenNews
EmitenNews.com -Pada tanggal 19 September 2024 kemarin, Bank Sentral paling berpengaruh di Dunia, yaitu Federal Reserve Bank, diluar dugaan para analis & investor , menurunkan suku bunga acuan mereka dari 5,25-5,5% menjadi 4,75- 5,0%. Secara mengejutkan The Fed, menurunkan Fed rate sebesar 0,5% atau 50 Bps. The Fed tegas dalam menaikkan suku bunga akibat ”memanasnya” inflasi di US dan Negara-negara lain, akibat pandemi Covid19. Apa dampaknya bagi Pasar Modal Indonesia ? mari kita simak berikut ini.
Ada beberapa keuntungan yang akan didapatkan oleh pasar keuangan Indonesia antara lain :
- Aliran dana Asing (Foreign Flow) masuk ke pasar keuangan negara berkembang seperti Asia (Emerging Market).
Kondisi saat ini, Sebagian besar dana asing masih mengendap di beberapa surat berharga di negara-negara maju (Developed Market) akibat tingginya suku bunga. Yang mana investor mutual fund raksasa seperti BlackRock, Vanguard, Charles Swab, & Fidelity, akan mencari return investasi tertinggi & resiko investasi terendah, seperti Deposito & Obligasi di Negara-negara maju, seperti US, Jepang, & Eropa.
Tersedotnya aliran dana asing kembali ke negara asalnya, membuat negara-negara berkembang (Emerging Market) menjadi tidak menarik. Alasannya adalah negara berkembang kurang stabil secara Geopolitik & kondisi ekonominya, seperti terjadinya demonstrasi buruh, pemberontakan/kudeta oposisi, dsb. Meskipun return investasi yg ditawarkan lebih tinggi dari return investasi Developed Market, namun karena ketidakstabilan kondisi politik & ekonomi dalam negeri yg membuat kepercayaan investor asing menurun. Keputusan untuk mempertahankan suku bunga dalam jangka waktu yang lama (Higher for Longer), sangat menyiksa kondisi ekonomi masyarakat. Tidak hanya terjadi di Amerika Serikat&Indonesia saja,Hal ini terjadi pada hampir seluruh negara di Dunia.
Ketika suku bunga The Fed mulai diturunkan, maka keputusan investasi mutual fund asing akan berubah. Mereka akan sedikit memutar otak untuk memaksimalkan return investasi mereka, sebagai tanggung jawab mereka pada investor fundnya.
Mereka akan mulai pasar yg beresiko dengan return Investasi yg lebih besar, seperti Emerging Market. Hal ini dapat dilihat pada data Bank Indonesia, dana Asing (Foreign Flow) masuk pasar keuangan Indonesia pada periode 1 Januari 2024 hingga 27 September 2024, tercatat Rp 42,27 T . Dana asing masuk Pasar Obligasi Indonesia (SBN) menurut data Bank Indonesia dari Januari 2024 hingga September 2024 tercatat Rp 25,17 Triliun, dan di Pasar Modal tercatat Rp 6,5 Triliun, juga di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp 10,8 Triliun.
Data diatas menunjukkan bahwa penurunan suku bunga The Fed memicu kenaikan Foreign Flow asing di Emerging market, akibat kepanikan yg terjadi pada investor asing yg mencari return tinggi di negara-negara berkembang khususnya di Asia.
- Melemahnya Indeks Dollar dan Melemahnya US 10Yr Yield Bonds.
Penurunan Fed Fund rate juga akan berimbas pada melemahnya Dollar Index yg berpotensi mengurangi keperkasaan nilai tukar USD di mata dunia. Dollar Index adalah indicator pergerakan nilai USD terhadap mata uang negara lain dalam pasar uang ( Foreign Exchange) berdasarkan kurs spot. Pelemahan USD ini juga akan menyeret dana dari perbankan US untuk mencari return investasi yg lebih tinggi namun tetap beresiko rendah, yaitu pada Surat Utang/ Obligasi/ Government Bond di US.
Dollar Index tertinggi ditunjukkan pada 3 Oktober 2022, sebesar 113,25 secara komposit. Dan berangsur-angsur menurun hingga menyentuh 100.35 pada 30 September 2024 di pasar spot. Penurunan signifikan terhadap Dollar Index juga diakibatkan sentimen resesi di US akibat kondisi suku bunga yg tinggi, untuk ”mendinginkan” inflasi yang terjadi di US. Namun ada dampak lain yg menyebabkan Suku bunga Fed Fund Rate diturunkan, yaitu lonjakan Unemployment Rate atau laju pengangguran di US dan Eropa yg menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi di Negara-negara tersebut sempat menyentuh 4,3% populasi angkatan kerja di Amerika.
Selain itu, sentiment US & Negara Uni Eropa berada di Jurang Resesi juga kembali mengemuka, dan menjadi kekhawatiran para investor. Salah satu indikator resesi adalah penurunan 10Years Bond yield sebagai acuan para Smart Money/Investor Besar. Akan tetapi return yield Bond ini amatlah kecil.
Jika dibandingkan dengan return SBN dengan jangka waktu 10 tahun, baik jenis tradable maupun non-tradable. Sehingga, Indonesia masih menjadi pilihan Investor asing di kancah Emerging Market yg lain. Hal ini dapat kita manfaatkan sebagai generasi millenial & gen-Z untuk dapat meraup keuntungan dari asset class yg sesuai, yang kita miliki. Agar cita-cita besar dan potensi Indonesia sebagai Negara Besar di 2045 dapat kita capai.
- Menguatnya Asset Class Berbasis Logam Mulia.
Pelemahan Dollar akan memicu penguatan di Asset Class yang lain, salah satunya adalah logam mulia. Logam mulia adalah benda yang digunakan pada zaman kuno sebagai alat tukar, seperti Emas, Perak, Platinum, Tembaga, dan sebagainya.
Pelemahan Dollar , penurunan inflasi US, dan lonjakan pengangguran, dapat memicu sentimen buruk, pertanda dunia keuangan sedang tidak baik-baik saja, dan investor menganggap akan dekatnya resesi pada Negara-Negara, karena memang dunia internasional Abad ini semakin terhubung, baik dari hubungan politis, sosial maupun ekonomi.
Ketika di suatu negara terjadi resesi, maupun krisis ekonomi, pasti akan menyeret beberapa negara lain sebagai akibat interkoneksi yg kuat antar negara, sehingga dapat menyebabkan resesi atau krisis di Negara lain. Sehingga para Investor Asing, baik itu Mutual Fund, Hedge Fund, Bank Sentral maupun Bank Investasi lain, akan mencari suatu asset class yg aman dan dapat digunakan sebagai alat ”Hedging” atau lindung nilai bilamana bencana keuangan terjadi. Hedging ini akan dilakukan tiap-tiap perusahaan investasi untuk melindungi dana investor mereka dari kerugian.
Saat suku bunga the Fed dinaikkan pada bulan Maret 2022, harga emas longsor dari USD1985/troy ounce, turun ke titik terendah 24 Oktober 2022 di USD1600/troy ounce, atau turun sekitar 19,4%. Dan ketika Fed Fund Rate mulai diturunkan , Harga Emas naik tajam dan mencapai ATH (All Time High). Dari USD1600/troy ounce, meningkat tajam hingga mencapai USD2654/troy ounce pada 30 September 2024. Dan kemungkinan besar masih akan terjadi Rally harga emas karena potensi Upside emas masih besar.
- Rupiah Kembali Perkasa.
Pelemahan Dollar USD membawa Blessing in Disguise pada mata uang Rupiah. Rupiah menguat akibat Suku Bunga BI atau BI7DRR (Bank Indonesia 7 Days Repo Rate) yang masih diatas Fed Fund Rate, Sebagai indicator bahwa Indonesia adalah Emerging Market. Dan pada pertemuan Rapat Dewan Gubernur BI yang diselenggarakan tanggal 17-18 September 2024, disepakati bahwa BI7DRR dipangkas 0,25% atau 25 basis point.
Karena masih tingginya suku bunga Bank Indonesia, menyebabkan mata uang Rupiah menguat tajam. Penguatan Rupiah ini juga diakibatkan oleh masih besarnya Cadangan Devisa Negara, sebesar USD136Miliar, Menurun jika dibandingkan dengan Cadangan Devisa di akhir tahun 2021 sebesar USD145,9Miliar. Pelemahan Rupiah diakibatkan oleh tingginya Inflasi, Rendahnya Suku Bunga pada tahun 2022, serta masih tingginya tingkat pengangguran, sehingga pelemahan Rupiah terjadi sebesar 12,8%, dari Agustus 2022 Hingga Bulan Juni 2024.
Related News
Permintaan Emas Global Pecah Rekor USD100 Miliar: Investor Panik?
Praktis Investasi Properti dengan Dana Investasi Real Estate (DIRE)
Menilik Kinerja Emiten Retail Otomotif Menjelang Tutup Tahun 2024
Tantangan, Peluang, dan Harapan terhadap Transformasi Ekonomi
Setting Autopilot Portofolio Saham Syariah
Peluang Investasi Hijau: Infrastruktur dan Energi Terbarukan 2024