EmitenNews.com - Perang Rusia-Ukraina diharapkan tidak berlangsung lama, karena selain berdampak buruk bagi ekonomi global, akan menambah beban APBN. Pasalnya harga minyak dunia telah melonjak mencapai USD120/barrel, dua kali lipat dari asumsi APBN di harga USD63/barrel, sehingga meningkatkan beban subsidi energi.


"Kondisi ini merupakan tantangan kebijakan fiskal yang tidak mudah dan harus diatasi oleh pemerintah dan DPR," ulas ekonom Dr Handi Risza dalam diskusi “Beban Fiskal dan Perang Rusia-Ukraina” yang digelar Universitas Paramadina, Senin (7/3).


Handi mengingatkan dalam 6-7 tahuh terakhir pertumbuhan ekonomi nasional hanya berkisar 5 persen/tahun. Lebih rendah dari era Orde Baru yang dapat mencapai 7-8 % atau era presiden SBY yang di 6,5 %. "Jadi masih belum ideal dan sesungguhnya ekonomi tidak baik-baik saja sejak sebelum covid. Mungkin lebih berat setelah covid, ditambah terjadi perang Rusia-Ukraina dan ancaman midle income trap," imbuh Handi yang juga Wakil Rektor Universitas Paramadina.


Pandemi covid-19 meluluh-lantakkan kondisi perekonomian sejak reformasi 98, dengan terjadinya resesi pada Q2/2020 - Q4/2020. Baru ada recovery pada Q2/2021 dan drop lagi di Q2, lalu tumbuh lagi di Q3-4/2021.


Biaya pemulihan covid 19 melebihi nilai Rp1000 triliun pada PEN 1 dan PEN 2. Defisit juga melebihi batas UU 3 %. menjadi 6,34 %. Belum lagi nilai hutang yang meningkat tajam.


Handi mengingatkan hampir 80% penerimaan negara berasal dari penerimaan Pajak. Tetapi di lingkungan ASEAN, tingkat rasio penerimaan pajak domestik terhadap PDB dapat dikatakan menjadi terendah (hanya 9,11%) dan belum bisa meningkat di atas 10 % nilai tax ratio.


Beberapa indikator makro ekonomi/fiskal menunjukkan kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik. Terakhir, Indonesia diselamatkan oleh harga komoditas CPO dan Batubara di pasar internasional. Hingga di TW2 2021 masih bisa tumbuh sekitar 7 % meskipun hanya dari harga komoditas.


"Kondisi kenaikan harga minyak dunia bisa menjadikan harga BBM Indonesia ikut melambung, dan beban subsidi juga ikut meningkat jauh," jelasnya.


Handi mencontohkan subsidi energi APBN 2022 ditetapkan Rp77,5 triliun dengan patokan harga minyak USD63 sudah jauh melewati asumsi APBN. Harga west texas intermediate telah mencapai 124 USD/barel. Hal itu akan ikut menaikkan angka ICP Indonesia. Tinggal menghitung berapa beban kenaikan subsidi energi nasional per kenaikan 1 USD BBM yang harus ditanggung pemerintah.


Karena itu menurut Handy pemerintah harus memprioritaskan belanja APBN ke sektor-sektor yang dipandang bisa ditunda seperti anggaran ibu kota negara atau IKN.


"Rencana tahap awal dana PEN untuk IKN sebesar Rp127 triliun harus dievaluasi kembali. Realisasi anggaran harus kepada sektor yang benar-benar dibutuhkan masyarakat," tegasnya.


Struktur PDB domestik selama ini masih didominasi oleh sektor konsumsi. Harus diperhatikan agar daya beli tetap terjaga dan konsumsi masyarakat tetap normal.


Ekonom lainnya, peneliti Indef yang juga dosen Universitas Mercu Buana, Dr Agus Herta, menambahkan di tengah pandemi Covid-19 yang belum diketahui ujungnya, perang Rusia-Ukraina mengakibatkan tingkat ketidakpastian ekonomi semakin tinggi.


"Dalam situasi ini para pelaku ekonomi dunia cenderung melakukan aksi wait and see sehingga perekonomian global mengalami kemandekan," katanya.


Hal yang menurut Agus menarik dianalisa adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Di tengah perang Rusia-Ukraina, volatilitas pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak seekstrem volatilitas harga minyak bumi.


Dalam APBN 2022, pemerintah dan DPR telah menetapkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp14.350 per dolar. Tapi di tengah melonjaknya harga komoditas ditambah memanasnya situasi di Ukraina, sampai dengan 7 Maret 2022, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih berada di kisaran Rp14.380 per dolar.


"Hal ini menjadi pertanda kuat bahwa dolar Amerika Serikat sudah tidak lagi menjadi safe haven asset bagi para pelaku ekonomi. Para pelaku ekonomi lebih memilih emas sebagai safe haven assetnya," ulas Agus. Hal ini terlihat dari harga emas yang sudah naik lebih dari 8,5 persen dalam satu bulan terakhir.