EmitenNews.com - Keputusan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan 5,75 persen konsisten dengan stance kebijakan moneter yang pre-emptive dan forward looking. Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo hal tersebut ditempuh untuk memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi ke depan. 

 

Dalam konferensi persnya di Jakarta, Kamis (16/3/2023), Perry Warjiyo mengungkapkan, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Maret 2023 juga memutuskan selain mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen, juga suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50 persen.

 

BI meyakini bahwa BI7DRR sebesar 5,75 persen memadai untuk mengarahkan inflasi inti tetap berada dalam kisaran 3 persen plus minus 1 persen pada semester I-2023 dan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) kembali ke sasaran 3 persen plus minus 1 persen pada semester II-2023. 

 

Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Februari 2023 tercatat sebesar 5,47% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan dengan inflasi IHK bulan sebelumnya sebesar 5,28% (yoy) akibat naiknya inflasi volatile food sebesar 7,62% (yoy).

 

Inflasi inti terus melambat menjadi 3,09% (yoy) dipengaruhi ekspektasi inflasi yang menurun, tekanan imported inflation yang terkendali, dan pasokan agregat yang memadai dalam merespons kenaikan permintaan.

 

Terkendalinya inflasi sebagai hasil dari respons kebijakan moneter Bank Indonesia serta eratnya sinergi pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dengan Pemerintah (Pusat dan Daerah) dalam TPIP dan TPID melalui GNPIP di berbagai daerah.

 

Satu hal, kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah juga diperkuat guna mengendalikan inflasi barang impor (imported inflation) dan memitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global terhadap nilai tukar rupiah. 

 

Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan lebih baik dari proyeksi sebelumnya. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2023 dapat mencapai 2,6 persen, sejalan dengan dampak positif pembukaan ekonomi Tiongkok dan penurunan disrupsi suplai global. 

 

Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Eropa lebih baik dari proyeksi sebelumnya dan diikuti oleh risiko resesi yang menurun. Perbaikan prospek ekonomi global tersebut diperkirakan menaikkan harga komoditas nonenergi, di tengah harga minyak yang menurun akibat berkurangnya disrupsi suplai.