EmitenNews.com - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menilai kebijakan nasional terhadap pelaku ekonomi kecil menengah (UMKM) masih setengah-setengah dibandingkan perlakuan terhadap pelaku ekonomi besar maupun oligarki bisnis.


Ia menilai negara belum memiliki keberanian memasukkan pelaku ekonomi UMKM dalam sektor formal. Padahal merujuk pada Pasal 33 UUD 1945, para pelaku ekonomi mikro harusnya menjadi bagian dari kebijakan formal negara.


“UMKM selalu dipandang geraknya artifisial karena posisinya selalu berada di pinggiran struktur,” kritik Haedar dalam seri ketiga gelar wicara Gagas RI bertajuk “Ekonomi, Keadilan, dan Kemanusiaan.”


Kritikan Haedar agar dilakukannya rekonstruksi kebijakan ekonomi mengacu pada kelompok ekonomi mikro yang rentan dalam persaingan di pasar bebas. Apalagi dalam menghadapi tren kapitalistik yang sifatnya makin terbuka dengan hukum Darwinian (yang kuat yang menang) dan hukum Hobbes tentang persaingan tidak sehat antar sesama manusia, homo homini lupus.


“Kalau tambal sulam, diberi pinjaman kecil-kecil mungkin bisa bertahan tapi tidak mengubah struktur bangunan ekonomi Indonesia yang mestinya menjadi tuan adalah ekonomi rakyat, tapi bukan dalam konstruksi yang pinggiran, tapi menyatu dengan negara,” kritiknya seperti dilansir laman Muhammadiyah.


Merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 dan semangat ekonomi kerakyatan, Haedar berharap ada kebijakan progresif yang interkonektif dalam memfasilitasi para pelaku usaha besar dan kecil untuk saling berta'awun.


“Implementasi mengatasi kesenjangan perlu kebijakan-kebijakan yang progresif. Seberapa jauh kebijakan itu inheren dengan negara dan punya policy, jadi negara berani bertaruh demi UMKM,” tegasnya.


Haedar juga menekankan perlunya kesetaraan dalam afirmasi produk kebijakan publik terkait sektor ekonomi agar tidak berlaku sepihak kepada para pengusaha besar dan oligarki bisnis.


“Ekonomi konglomerasi harus punya tempat yang pas di republik ini, soal solusi mesti ketemu, tapi ruangnya harus dibuka oleh pemerintah,” kata dia.


“Jadi jangan sibuk memproduksi Undang-Undang yang itu banyak masalah, itu nambah beban negara,” tambah Haedar.


“Jadi kalau kita bikin policy-policy politik ekonomi perundang-undangan yang atas nama kemenangan mengambil keputusan, suara lain tidak kita hiraukan, hatta kita benar, ingat ini akan melilit leher bangsa ini, maka perlu hati yang jernih, akal yang terbuka, ruang yang terbuka, kembali pada gagasan awal jangan-jangan kita ada salah langkah,” tandasnya.(*)