EmitenNews.com -Belakangan ini, pasar modal Indonesia tengah lesu, di mana investor tengah menunggu kepastian diberlakukannya tarif resiprokal oleh Amerika yang penangguhannya tak kunjung diperpanjang hingga mendekati akhir batas waktu tanggal 9 Juli nanti.

Di sisi lain, banyaknya IPO emiten baru yang melakukan penawaran umum bersamaan di awal bulan Juli ini semakin menekan pergerakan IHSG karena otomatis likuiditasnya menjadi sangat tipis. Salah satu sektor yang tertekan akibat capital outflow yaitu sektor perbankan.

Sejak bulan Juni lalu, sektor perbankan mencatatkan net sell akibat investor asing yang terus mengurangi portofolionya dan keluar secara masif dari pasar modal Indonesia.

Lalu, apa yang harus kita lakukan di tengah pelemahan saham-saham perbankan saat ini?

Koreksi IHSG kali ini bisa jadi merupakan kesempatan bagi investor untuk mendapatkan harga diskon di pasar saham. Bahkan, beberapa pihak memperkirakan akan ada satu saham perbankan yang akan menjadi multibagger hanya dengan membandingkan pertumbuhan pendapatan dan labanya saja.

Masalahnya, untuk mencari saham perbankan yang benar-benar memiliki kinerja bagus, kita perlu mengukur kesehatan dan efisiensinya juga. Sebagai investor, sebaiknya kita melakukan valuasi lebih dalam, mencari emiten bank yang memiliki fundamental kuat, dan membuat trade plan untuk meminimalkan risiko.

Ada beberapa kriteria lain yang perlu diperhatikan sebelum kita memutuskan untuk melakukan pembelian saham perbankan, antara lain:

  1. Price/Book Value (P/BV Ratio)

Tidak seperti sektor lainnya yang lebih banyak menggunakan Price/Earning Ratio (P/E), di sektor perbankan akan lebih relevan jika kita melakukan valuasi dengan menggunakan rasio P/BV karena bank banyak memiliki aset tetap. Semakin rendah P/BV suatu saham, dapat dikatakan bahwa saham tersebut undervalued, dan sebaliknya. Book value di sini mengacu pada aset berwujud yang dimiliki oleh suatu bank, seperti tanah dan bangunan.

  1. Growth Rate

Angka pertumbuhan yang perlu diperhatikan di sektor perbankan bukan hanya pertumbuhan pendapatan dan laba saja, tapi juga pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan pertumbuhan kredit. Growth rate sering kali menjadi acuan kinerja perusahaan, yang nantinya juga akan memengaruhi harga saham.

  1. Loan to Deposit Ratio (LDR)

Rasio ini menunjukkan tingkat likuiditas suatu bank, di mana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membatasi LDR perbankan di angka 78% hingga 92%.

Angka LDR yang terlalu tinggi mencerminkan bahwa bank tersebut memiliki masalah likuiditas, sementara LDR yang terlalu rendah menunjukkan bahwa bank tersebut belum optimal dalam menyalurkan kreditnya.

  1. Net Interest Margin (NIM)

Margin dalam perbankan dihitung dari selisih antara pendapatan bunga yang diterima dari borrower dan beban bunga yang harus dibayarkan kepada lender. Semakin tinggi rasio NIM, mengindikasikan bahwa bank tersebut mampu mengelola aset dan kewajiban berbunganya untuk mendapatkan keuntungan optimal.

  1. Perbandingan Dana Murah (CASA) dan Dana Mahal

Ketika suatu bank mendapat dana pihak ketiga yang dihimpun dari masyarakat, maka bank harus memberikan bunga. Dana yang termasuk dalam CASA yaitu dana di rekening giro dan tabungan, di mana kedua dana ini dianggap dana murah karena bank tidak perlu membayar bunga tinggi untuk memperoleh dana tersebut.

Sementara itu, dana mahal adalah dana yang diperoleh dari deposito. Rasio CASA yang tinggi menunjukkan bahwa biaya dana yang dikeluarkan bank akan lebih rendah, sehingga dapat meningkatkan profitabilitas bank.

  1. Non Performing Loan (NPL) dan Coverage Ratio

Kedua rasio ini digunakan untuk mengukur kesehatan keuangan suatu bank.

NPL membandingkan jumlah kredit bermasalah dengan keseluruhan jumlah kredit yang disalurkan. Umumnya, kredit yang gagal bayar lebih dari 90 hari dimasukkan ke dalam NPL, di mana OJK memberi batasan rasio NPL bank tidak boleh lebih dari 5%.

Sementara itu, coverage ratio mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban keuangannya.