EmitenNews.com—Belakangan ini banyak pemberitahuan yang disematkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) pada laman keterbukaan informasi kepada pelaku pasar untuk memberikan kabar potensi delisting atau pendepakkan secara paksa oleh regulator kepada para emiten yang mengalami berbagai masalah mulai dari PKPU, kelangsungan usaha dan berbagai macam masalah lainnya sebagai emiten.


Antrean emiten menuju gerbang delisting mengular. Kala ini, masuk barisan delisting Mitra Pemuda (MTRA), Forza Land Indonesia (FORZ), Nusantara Inti Corpora (UNIT), Onix Capital (OCAP), Cottonindo Ariesta (KPAS), Capri Nusa Satu Properti (CPRI), Steadfast Marine (KPAL), dan Mas Murni Indonesia (MAMI), Northcliff Citranusa Indonesia (SKYB), Intan Baru Prana (IBFN), Waskita Beton Precast (WSBP), Hotel Mandarine Regency (HOME), Trada Alam Minera (TRAM), Inti Agri Resources (IIKP), Garda Tujuh Buana (GTBO), Cowell Development (COWL).


Tidak hanya jajaran di atas, EmitenNews.com juga mencatat beberapa emiten lain yang ada di tepian delisting seperti Magna Investama (MGNA), Leyand International (LAPD), Nipress (NIPS), Sugih Energi (SUGI), Polaris Investama (PLAS), Pool Advista (POOL), Armidian Karyatama (ARMY), Envy Technologies Indonesia (ENVY), Kertas Basuki Rachmat Indonesia (KBRI), Eterindo Wahanatama (ETWA), Marga Abhinaya Abadi (MABA), Siwani Makmur (SIMA), Rimo International Lestari (RIMO), Garuda Indonesia (GIAA), Bliss Properti Indonesia (POSA), Hanson International Tbk (MYRX), Panasia indo Resources  (HDTX), Sritex (SRIL), Bukit Uluwatu Villa (BUVA) dan masih ada beberapa emiten lainnya.


Terkait dengan kondisi emiten yang dalam fase kritis itu, Lalu bagaimana fungsi Bursa Efek Indonesia sebagai regulator dalam menjalankan tugas perlindungan konsumen dalam hal ini tentu saja para investor, seperti diketahui bahwa para emiten yang sedang dalam ambang delisting adalah emiten tier 2 dan 3. Bahkan ada beberapa emiten yang pencatatan saham di Bursa atau IPO nya terbilang baru dan langsung mengalami penurunan performa kinerja, seperti apakah Bursa Menyikapinya ?


Menjawab hal itu, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna dalam keterangannya kepada media, Kamis (6/10/2022) menyatakan, Bursa selektif dalam memberikan ijin kepada perusahaan yang masuk Bursa dengan mempertimbangkan berbagai faktor substansi, legal dan administrasi.


Setelah menjadi perusahaan tercatat, Bursa melakukan pengawasan atas kinerja operasional dan keuangan. Apabila terjadi legal issues (sebelum menjadi pailit), Bursa mewajibkan perusahaan untuk segera menyampaikan keterbukaan informasi yang menjelaskan hal tersebut, bagaimana dampaknya terhadap perusahaan dan hal-hal yang dilakukan manajemen untuk menyelesaikan kondisi tersebut. 


Kemudian notasi khusus diberikan dan suspensi dilakukan dalam hal sudah mengarah pada pailit. Hal ini dilakukan untuk melindungi kepentingan investor.


Bursa selanjutnya akan melakukan delisting, mengumumkan informasi jajaran Direksi, Dewan Komisaris dan pemegang saham pengendali yang tercatat pada saat pailit terjadi dan memasukkan ke dalam database Bursa. Di samping itu, Bursa juga melarang pihak-pihak  tersebut untuk menjadi Direksi, Dewan Komisaris atau pengendali perusahaan yang akan tercatat di Bursa (pihak-pihak dalam catatan khusus).


Sesuai dengan POJK No. 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal Perusahaan, perusahaan yang telah dilakukan delisting oleh Bursa, diwajibkan untuk melakukan pembelian kembali dan go private. Hal ini juga merupakan upaya untuk melindungi hak-hak investor di pasar modal.


Tak sudah sampai disitu, Bursa Efek Indonesia (BEI) juga masih punya tugas besar lainnya setelah para emiten itu dalam kondisi yang tidak baik. Lalu, setelah mereka pailit, bursa akan melakukan apa selain suspensi dan spesial notation?


Menanggapi hal itu Nyoman menegaskan, legal issue termasuk pailit adalah salah satu risiko yang dihadapi oleh investor di pasar modal. “Untuk itu investor wajib mengetahui risiko-risiko industri dari perusahaan, memperhatikan setiap pengumuman dari perusahaan termasuk notasi dari Bursa sehingga dapat mengambil keputusan investasi dengan segera,” tandas Nyoman.


Lalu mencermati fenomena itu, Alex Sukandar, CFP, CSA, CTA, FMVA pendiri kurikulumsaham.com (PT. Kurikulum Saham Indonesia) mengatakan, tidak sepenuhnya tanggung jawab di fungsi pengawasan regulator seperti OJK dan BEI, terlepas emiten itu tercatat atau tidak di BEI dari P2P lending, dari Equity Crowd Funding toh tetep ada aja risiko default.


“Namun data yang mencengangkan Saya, didapat dari KSEI. 62% investor ritel di Indonesia, background pendidikannya SMA, dominannya usia di bawah 30 tahun, dengan pendapatan 10jt - 100jt per tahun. Boleh saya simpulkan, banyak yang terjun di pasar modal, adalah untuk spekulasi, bukan untuk investasi, mereka-mereka ini golongan yang rentan dengan literasi finansial, minim literasi investasi,” kata Alex Sukandar kepada EmitenNews.com , Kamis (6/10/2022).


Alex meneruskan, jadi kembali lagi soal tanggung jawab di fungsi pengawasan, ada baiknya otoritas terkait mewadahi suatu komunitas atau semacam satgas milenial yang mampu mengawal/mengedukasi para investor dominan ini. Masa iya kalah sama para influencer sosmed yang bisa menggiring pasukan ritel untuk beli atau jual di emiten tertentu dan akhirnya mereka-mereka hanya FOMO atau ikut-ikutan aja, kata Dia.


Hal ini menjadi tanggung jawab sosial berbagai pihak, selain otoritas terkait, sebisa mungkin para emiten yang terlisting atau menjadi perusahaan terbuka di BEI, menyalurkan dana CSR nya untuk edukasi para pelaku investor millennial ini. Sehingga jadi tidak hanya sembarang beli yang ujungnya berakhir dengan delisting, tutup Alex Sukandar.