EmitenNews.com - Lembaga penegak hukum perlu bekerja lebih keras untuk mengembalikan kerugian negara dalam kasus korupsi. Recovery aset hasil korupsi masih terlalu sedikit dibanding kerugian negara yang telah dikorupsi. Ramainya ungkapan klasemen liga korupsi di media sosial seharusnya menjadi teguran keras bagi semua lembaga penegak hukum. Benarkah pemberantasan korupsi hanya untuk kepentingan politik?.

Ahmad Hariri, Peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) mengemukakan hal tersebut dalam keterangannya yang dikutip dari Antara, Rabu (12/3/2025).

Dalam pandangan Ahmad Hariri ramainya satire liga korupsi tersebut menunjukkan bahwa selama ini aparat penegak hukum hanya membangun pertunjukan kasus agar disebut hebat. Pengembalian hasil korupsi dari kasus yang telah ditangani KPK, polisi, dan Kejaksaan Agung malah paling minim.

“Bergepok-gepok duit rakyat yang dikorupsi, kata Hariri, hanya ditindak sebagai atas nama penegakan hukum. Namun uang hasil korupsi itu tidak pernah benar-benar kembali kepada rakyat," kata Ahmad Hariri.

Mengutip data sepanjang periode 2019-2024, KPK telah melaporkan pengembalian hasil korupsi sebesar Rp2,5 triliun lebih.  

Sedangkan Kejagung, menurut Ahmad Hariri sangat jarang sekali melaporkan pengembalian hasil korupsi dari kasus yang mereka tangani. Padahal korps Adhyaksa ini yang paling banyak memberitakan potensi kerugian negara superbesar serta menyita banyak aset hasil korupsi. 

Recovery aset hasil korupsi oleh KPK dan Kejagung juga masih terlalu sedikit dibanding kerugian negara yang telah dikorupsi. Jadi wajar, kata Ahmad Hariri, setengah dari masyarakat menilai pemberantasan korupsi hanya untuk kepentingan politik. 

Dalam konteks ini, bukan hanya KPK, Kejagung, dan polisi, pengembalian hasil korupsi juga harus jadi tanggung jawab Kementerian Keuangan. Bendahara negara itu, seharusnya mengumumkan uang dan aset hasil pengembalian korupsi ini benar telah diterima secara baik atau hanya publikasi media semata. 

"Rampasan dari tindak pidana korupsi itu sudah digunakan untuk pos APBN dan program apa saja? Jangan sampai tindakan pemberantasan korupsi hanya menjadi ajang "giat rampok ketemu maling," tegas Ahmad Hariri.

Sementara itu, lewat kanal YouTube-nya, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, mengungkapkan kegelisahannya terkait maraknya kasus korupsi di Indonesia. Aktivis antikorupsi ini mempertanyakan arah bangsa ini, mengingat semakin besarnya nilai korupsi yang terungkap dari waktu ke waktu.

"Belakangan saya sering bertanya, ini negara apa? Bangsa ini sedang dibawa ke mana? kalau setiap bulan, setiap pekan, muncul kasus-kasus korupsi yang memalukan," ujar Sudirman Said, Selasa 11 Maret 2025.

Jika dahulu masyarakat dikejutkan dengan kasus korupsi proyek e-KTP senilai Rp2,5 triliun, kini angka yang muncul bisa mencapai ratusan hingga ribuan triliun.

Meski menegaskan tersangka korupsi tetap harus dihormati proses hukumnya, Sudirman mengkritik bagaimana kekuasaan seolah menjadi jalan untuk mencuri, bukan untuk melayani rakyat.

"Korupsi yang marak, hukum yang tidak bisa ditegakkan, kebijakkan yang berubah-ubah membuat ekonomi kita tidak bisa melompat seperti yang dialami negara-negara lain," jelas Sudirman Said.

Sudirman Said juga menyoroti betapa kolusi yang akut telah melumpuhkan sistem check and balances, sedangkan nepotisme yang tak terkendali menghancurkan meritokrasi. Menurut dia, orang diangkat dalam sebuah posisi, atau jabatan, bukan karena prestasi atau integritasnya, tapi karena anak siapa atau keponakan siapa. ***