EmitenNews.com - Penerapan bea keluar pada tahun 2026 bermakna strategis. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan langkah pemerintah untuk menerapkan bea keluar batu bara itu, untuk menutup kerugian negara terkait penerapan kebijakan perpajakan tentang komoditas tersebut dalam Undang Undang Cipta Kerja.

Dalam keterangannya yang dikutip Rabu (19/12/2025), Menkeu Purbaya menyebutkan, saat pemerintah menerapkan Undang Undang Cipta Kerja banyak industri batu bara yang mengajukan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) ke pemerintah. Dalam satu tahun pemerintah harus membayar restitusi PPN hingga Rp25 triliun ke pelaku usaha batu bara.

“Industri batu bara cukup canggih, sehingga mereka bisa melobi pemerintah pada waktu itu melalui undang-undang dan DPR sehingga hal ini bisa lolos. Mungkin waktu itu pemerintah kurang bisa berhitung. Jadi kita dirugikan sebesar itu,” urai Menkeu Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Senin (8/12/2025).

Dalam Undang Undang Cipta Kerja disebutkan bahwa ada perubahan status batu bara dari nonbarang kena pajak menjadi barang kena pajak. Dengan adanya UU Ciptaker itu, pengusaha batu bara bisa mengajukan restitusi pajak, yang akhirnya merugikan negara.

Bila pengenaan bea keluar bisa dijalankan pada tahun 2026 maka pemerintah bisa mengurangi beban fiskal dari pembayaran restitusi sebesar Rp25 triliun per tahun.

Tarif bea keluar batu bara ditargetkan dalam kisaran 1 sampai 5%. Pengenaan tarif ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara. Mengingat sebelumnya negara sudah dirugikan oleh industri batu bara.

“Kalau dihitung dengan costnya segala macam, net income kita dari industri batu bara bukannya positif, dengan pajak segala macam malah jadi negatif. Undang-Undang Cipta Kerja itu seperti pemerintah memberikan subsidi ke industri yang sudah untungnya banyak,” tegas Purbaya.

Lonjakan restitusi terjadi selain karena restitusi, juga fluktuasi harga komoditas

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan mengungkapkan, lonjakan restitusi terjadi karena adanya fluktuasi harga komoditas di pasar dunia perubahan sikap dari wajib pajak.

Pada Oktober 2025 restitusi pajak mencapai Rp340,5 triliun. Bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya terjadi pertumbuhan 36,4%, sebab saat itu restitusi hanya mencapai Rp249,59 triliun.

Rinciannya, restitusi Rp340,5 triliun terbagi dalam restitusi Pajak Penghasilan (PPh) badan senilai Rp93,8 triliun, restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri (DN) sebesar Rp238,86 triliun, dan restitusi jenis pajak lainnya Rp7,87 triliun.

“Moderasi harga komoditas yang menyebabkan penurunan omset perusahaan dan laba perusahaan sehingga SPT Tahunan menjadi lebih bayar kemudian mengajukan restitusi,” ucap Dirjen Pajak Bimo Wijayanto dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR, di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu(26/11/2025).

Saat yang sama juga terjadi perubahan perilaku wajib pajak dari yang yang sebelumnya melakukan kompensasi, tahun ini beralih melakukan restitusi. DJP konsisten mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan restitusi. Permohonan restitusi selalu dilakukan pemeriksaan komprehensif untuk menguji kepatuhan dan kebenaran material SPT.

“Sedangkan untuk pengembalian pendahuluan yang dipercepat akan diberikan kepada wajib pajak post audit,” tegas Bimo.

Restitusi dapat dilakukan melalui dua skema yaitu melalui audit dan pengembalian pendahuluan. Untuk audit dilakukan dalam jangka waktu 12 bulan dan meliputi proses pemeriksaan atas pembukuan dokumen terkait kewajiban perpajakan wajib pajak.

Dalam restitusi dipercepat atau pengembalian pendahuluan, DJP memberikan kemudahan kepada wajib pajak yang memenuhi syarat yang berhak atas restitusi pengembalian pendahuluan. ***