EmitenNews.com - Pertumbuhan ekonomi dan pasar modal Indonesia dinilai sejumlah pengamat ekonomi, dan analis cukup menjanjikan. Itu kendati dibayangi ketidakpastian, dan gejolak ekonomi global terus berlanjut.


Perekonomian dunia tengah menghadapi berbagai kondisi tidak kondusif. Mulai pengetatan kebijakan bank sentral, lonjakan suku bunga, dan laju inflasi. Kondisi itu, tentu berdampak pada seluruh sektor, dan pasar dunia, termasuk pasar modal. 


Syahda Sabrina, Research Assistant-Institute for Economic and Social Research LPEM-FEBUI, mengatakan pemulihan ekonomi dunia sedikit terhambat perang Rusia dan Ukraina. Di mana,  terjadi disrupsi suplai yang menyebabkan shortage beberapa komoditas sehingga harga meningkat tajam. Antara lain minyak mentah, gas alam, dan beberapa komoditas pangan. 


Selain itu, proses pemulihan ekonomi juga dipengaruhi tren pengetatan moneter global. ”Loncatan harga komoditas utama disebabkan peningkatan permintaan di tengah pemulihan ekonomi ikut diperparah isu geopolitik Rusia-Ukraina. Inflasi global pada akhirnya meningkat sangat tajam. Di Indonesia, inflasi tercatat 4,69 persen pada Agustus. Angka itu, melebihi target Bank Indonesia 3±1 persen. Kenaikan inflasi harus diantisipasi bank sentral seluruh dunia. Bank sentral Amerika Serikat (AS), the Fed, telah menaikkan suku bunga, begitu pun dengan BI. Suku bunga the Fed telah meningkat 300 basis points (bps) sepanjang 2022. Kenaikan suku bunga AS meningkatkan spread dengan negara berkembang sehingga capital outflow tidak terhindarkan. Capital outflow tak hanya dialami Indonesia, namun juga seluruh negara berkembang,” tutur Syahda, dalam diskusi Investment Talk gelaran D’Origin Financial & Business Advisory bekerja sama Igico Advisory, bertema “The Queen’s Gambits: Strategi di Tengah Resesi”, Minggu (2/10). 


Capital outflow di Indonesia masih terbilang manageable, dan terjaga. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) juga demikian. Rupiah hanya terdepresiasi 6,98 persen (year to date) per September 2022, jauh lebih baik ketimbang negara lain. ”Itu disebabkan struktur perdagangan internasional Indonesia didominasi komoditas. Indonesia kebagian windfall kenaikan harga komoditas. Surplus neraca perdagangan secara konsisten periode Mei 2020 hingga September 2022 ditopang batu bara dan kelapa sawit,” terang Syahda.


Pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai cukup baik Bank Dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia menjanjikan, dengan pertumbuhan ekonomi diproyeksi berada di level 5,1 persen pada 2022. Tentu kondisi, dan fundamental ekonomi Indonesia akan memberikan dampak positif bagi pasar modal di negeri ini.


Liza Camelia Suryanata, Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia menambahkan di tengah penurunan indeks saham Dow Jones, pelaku pasar modal domestik cukup lega penutupan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa berada di level 7.040. Indeks Dow Jones ditutup di angka 28.730, di mana sebelumnya pernah di level 30.000. Ke depan Dow Jones diproyeksi ada tren penurunan, walau tetap ada kemungkinan untuk kembali rebound.


“IHSG sudah bisa bertahan di level 7.000 di level psikologis. Untuk jangka pendek akan ada halangan di level 7.140, lalu beranjak ke level 7.200. Walau ada kemungkinan turun, namun tidak akan mengganggu tren peningkatan IHSG ke level 7.200. Strateginya, untuk jangka pendek speculative buy atau buy on weakness,” ungkap Liza. 


Segi valuasi, Liza menilai IHSG masih menarik dengan price to earning ratio (PE) sekitar 15 kali. Itu disebutnya mirip dengan posisi IHSG saat berada di level rendah pada Maret 2020. “Berarti kita (IHSG) undervalue,” tukasnya.


Lalu, sektor-sektor apa saja yang akan menguntungkan ke depan? “Saat ini harga batu bara USD430-440 per ton cukup kencang peningkatannya ke depan. Apalagi, winter sudah membayangi Eropa. Sedang suplai gas Rusia terbatas di mana sudah banyak pipa tutup. Di China, sudah ada heatwave yang notabene perlu listrik. Negara-negara Eropa balik lagi ke batu bara. Tren ke depan masih sangat kencang. Batu bara akan turun jika suplai minyak dan gas dari Rusia bisa berjalan normal lagi,” jelas Liza.


Selanjutnya, Rita Effendy, Investment Specialist menambahkan, setidaknya ada tiga sektor menarik yakni sektor perbankan, komoditi energi dan energi baru terbarukan (EBT). Sektor banking menjadi menarik, karena capital inflow asing masih memilih emiten memiliki market cap terbesar, notabene didominasi bank. “Salah satunya BBCA. Selain BBCA ada juga BBRI cukup menarik. BBRI, BMRI, dan BBNI. Biasanya 4 bank ini akan menjadi incaran asing. Selain market cap besar, juga banyak katalis-katalis cukup menarik,” imbuh Rita.


Sedangkan sektor komoditas tentu berhubungan dengan energi. Di antaranya gas, dan batu bara. Emiten sektor itu dinilai memiliki prospek cukup baik ke depan. Selain sektor-sektor itu, prospek lain ialah produsen pulp. Banyak negara-negara Eropa terganggu produksi pulp-nya akibat pasokan gas Rusia. ”Sektor EBT juga sangat potensial, karena didukung road map, dan kebijakan pemerintah. Kementerian ESDM, saat ini EBT masih 11 persen diterget pada 2050 30 persen. Lalu, ada kebijakan pajak karbon akan rampung pada akhir 2022. Ini akan mendukung sektor EBT ke depan. ARKO, KEEN, menjadi pilihan menarik,” jelas Rita.


Sementara itu, Jani, Capital Market Practitioner, mengandalkan Cacing Rotation Graph (CRG) melihat sektor kesehatan memiliki tren meningkat ke depan. Emiten cukup potensial pada sektor kesehatan ialah PT Mitra Keluarga Karyasehat (MIKA). Dalam 4 kuadran dikategorikan CRG, MIKA berada di kuadran 1 atau berada di leading quadrant. Sedang 3 kuadran lain ialah weakening quadrant, lagging quadrant, dan improving quadrant. 


Menurut Jani, CRG itu digunakan sebagai petunjuk when to buy, when to sale, when to hold, what to buy, what to sale, dan what to hold. ”Per 30 September 2022 ada TLKM, BFIN, BMRI, dan MIKA mengalami bullish. MIKA sumbu x dan y nya positif, dan berada di kuadran 1. Jadi, sangat potensial,” terang Jani. (*)