EmitenNews.com - Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) harus melakukan koreksi total dengan memberikan masukan kepada Presiden Joko Widodo perihal jumlah kerugian negara akibat pemberian fasilitas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Salah satu koreksi penting terkait besarnya angka kerugian negara yang harus dikejar oleh Satgas Pemburu BLBI. Polri dan Kejaksaan Agung diminta mendalami dua kasus besar, yaitu skandal bank BCA dan skandal BDNI.


"Sangatlah tidak sepadan jika tim pemburu atau Satgas BLBI ini hanya mengejar Rp110 triliun dari obligor BI atau para konglomerat penikmat fasilitas BLBI sejak tahun 1997-1998," ujar Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) Sasmito Hadinegoro dihadapan Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, Pimpinan Komite I DPD RI Fachrul Razi, Pimpinan Komite III DPD RI Sylviana Murni dan Pimpinan Ketua Komite IV DPD RI, H. Sukiryanto di Gedung DPD RI, Selasa (23/11/2021).


Kehadiran Sasmito itu atas permintaan DPD RI terkait  penuntasan skandal BLBI yang merugikan negara. Kasus penyalahgunaan dana BLBI sejak BI menyalurkannya kepada 48 Bank di Indonesia saat itu nilainya Rp144,5 Triliun. Namun, setelah diaudit BPK pada era Pemerintahan Presiden BJ Habibie, dana BLBI yang riil jumlahnya Rp210 Triliun.


Hasil audit BPK ini menyimpulkan penggunaan dana BLBI telah diselewengkan dan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp138,4 triliun. Menurut Sasmito, patut diduga, dalam pemberian fasilitas dana BLBI yang tak bisa dipertanggungjawabkan berindikasi tindak pidana korupsi. Menurut pengamat Ekonomi Keuangan Negara ini, kasus itu seharusnya penyelesaiannya dapat dituntaskan oleh penegak hukum sesuai UU Tipikor.


Pola penyelesaian skandal BLBI ini memprioritaskan penanganannya berdasarkan besaran jumlah fasilitas BLBI yang diterima oleh para bankir obligor BLBI yang memanfaatkan situasi krisis moneter pada tahun 1997-1998.


Sebab, akibat penyalahgunaan dana BLBI tersebut pemerintah terpaksa mengikuti arahan IMF dengan mengambil alih seluruh bank yang bangkrut. Namun kala itu, pemerintah tidak mempunyai cukup dana fresh untuk memenuhi syarat dalam melakukan rekapitalisasi.


Tujuan bank-bank yang direkapitalisasi agar bisa memenuhi syarat kecukupan modal senilai 8 persen dan CAR (capital adequacy ratio) sesuai ketentuan dari Bank for International Settlement (BIS) yang berkedudukan di Basel, Swiss. Karena itulah pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). SUN ini khusus untuk melakukan rekapitalisasi  yang disebut “obligasi rekapitalisasi pemerintah” yang nilainya sebesar Rp430 triliun.


Karena bentuknya obligasi, pemerintah berkewajiban membayar bunga, dengan jumlah pembayaran senilai Rp600 triliun. Akibat kasus penyalahgunaan fasilitas BLBI tersebut, beban pemerintah keseluruhannya menjadi Rp1.030 Triliun. Angka ini patut diduga semakin membesar jika pelunasannya tertunda atau pemerintah tidak melakukan terobosan kebijakan baru yang dapat disebut sebagai  bagian “ revolusi keuangan negara”.


Apalagi, selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009 dan 2009-2014), megaskandal penyalagunaan fasilitas BLBI tidak ditangani secara serius. Karena itu, Sasmito berharap di era pemerintahan Presiden Jokowi harus menunjukkan langkah konkrit penegakan hukum kasus BLBI. "Ini patut didukung oleh DPD RI dalam tempo sesingkat - singkatnya."


Sasmito menegaskan, ada dua hal penting mengenai jenis kerugian negara yang terjadi, yaitu: pertama, perusahaan atau aset yang diserahkan para obligor kepada pemerintah sebagai pembayaran utang atas fasilitas BLBI yang diterimanya, yang hasil penjualannya jauh lebih kecil dari nilai utang, khususnya dalam menghadapi keadaan ini. Polri dan Kejaksaan Agung diminta mendalami dua kasus besar, yaitu skandal bank BCA dan skandal BDNI.


Kedua, kerugian dalam bentuk SUN, dengan penerbitan obligasi rekap eks BLBI yang dalam periode 10 tahun pemerintahan presiden SBY saja hingga tahun 2014, nilai pembayaran bunga obligasi rekapitulasi pemerintah patut diduga senilai Rp960 Triliun.


“Berdasarkan pengakuan mantan Direktur Utama Bank Mandiri (Alm.) ECW Neloe secara langsung kepada saya, obligasi rekapitulasi yang diperlukan Bank Mandiri sesungguhnya hanya sebesar Rp100 triliun. Tetapi pada kenyataannya, obligasi rekapitulasi eks BLBI yang diminta oleh Direksi Bank Mandiri era Direksi Roby Johan dan Agus Martowardojo nilainya sebesar Rp176 triliun. Telah terjadi mark up sekitar Rp76 triliun," kata Sasmito.


Ini artinya, menurut Sasmito, pemerintah memberikan subsidi bunga obligasi rekap eks BLBI yang rata-rata 10 persen per tahun senilai Rp7,6 triliun patut diduga fiktif.  "Hal yang sama patut diduga terjadi pada bank-bank penerima obligasi rekapitulasi pemerintah lainnya." ***