EmitenNews.com - Ekonom INDEF, Prof. Bustanil Arifin mengingatkan pentingnya antisipasi terhadap kenaikan harga pangan. Karena perang akan menyebabkan sistem logistik terganggu, dan kenaikan mata uang USD akan mendorong kenaikan harga pangan dan inflasi dunia.


“Kondisi pertanian dalam negeri harus menjadi fokus perhatian karena hanya tumbuh rendah 1,3%. Jadi pasti ada persoalan di produksi. Meski kemarin ada El Nino tapi melihat kemiskinan yang tetap ada di sektor pertanian dan pedesaan serta ketimpangan yang memburuk, maka hal-hal itu harus jadi ekstra perhatian,” jelasnya.


Berdasarkan data 15 April 2024, dalam 2 tahun terakhir memang terjadi volatile food yang juga tertinggi sebesar 10,33% komponen inflasi, bahkan harga telur ayam juga dapat menyebabkan inflasi. Hingga harga beras global menjadi hal yang sangat sensitif terhadap tingkah laku anomali.


Dilihat dari harga minyak sawit global, per April 2024 cukup membaik, ada windfall profit didalamnya yang memungkinkan dampak perang Iran – Israel bagi Indonesia yang akan dapat windfall profit dari sawit.


Bustanul menekankan perlunya daerah bekerjasama mengendalikan inflasi dengan membuat KAD (Kerjasama antar daerah) karena tidak bisa jalan sendiri-sendiri.


“Daerah surplus dan daerah defisit perlu bekerjasama, jangan anggap enteng masalah ini. Kalau perlu buat kontrak farming antar daerah produsen dengan daerah konsumen atau defisit” tegasnya pada diskusi bertemakan “Dampak Kebijakan Ekonomi Politik di Tengah Perang Iran-Israel yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina dan INDEF, Senin (22/4/2024).


Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini membenarkan dampak perang Iran – Israel tidak bisa dianggap sepele. Ia mengibaratkan perang seperti air yang menerobos ke mana-mana, terutama lewat jalur perdagangan luar negeri dan moneter.


Didik menganggap bahwa komoditas utama yaitu berada di timur tengah adalah minyak bumi. Sehingga dibutuhkan berbagai kebijakan yang tepat dalam menghadapinya, yaitu kebijakan perdagangan luar negeri, kebijakan BI dalam memberikan tekanan pada sisi moneter, kebijakan fiskal dan lain sebagainya.


Wijayanto Samirin (Dosen Universitas Paramadina) menyampaikan bahwa situasi midle east saat ini ada pergeseran dimana timur tengah produksi 35% minyak dunia dan 30% minyak dunia itu diekspor dari timur tengah melalui selat Hormuz. Dalam hal ini, Iran punya kontrol luar biasa terhadap selat hormuz.


“Ekspor minyak itu jika dulu dikirm ke Eropa dan USA, sekarang lebih banyak ke Asia terutama China, India, Jepang dan Korsel sehingga negara-negara pengimpor ini akan terdampak jika sehat hormuz diblokade” kata Wijayanto.


Hal lain, Uni Eropa semakin lama tidak menggantungkan diri pada midle east untuk suplai minyak. Saat ini sekitar 8 % saja, 90% supply minyak untuk EU didapatkan dari USA, Norway dan Kazakhstan. Berbeda dengan masa lalu ketika kebutuhan minyak seluruhnya dari midle east.


Jika di blokade, kebijakan luar negeri negara USA dan Barat tentu akan mempertimbangkan aspek negara sekutu mereka jika terjadi konflik. Misalnya dengan sikap netral, karena negara sekutu seperti jepang dan korsel akan kesulitan dapatkan minyak. Sehingga akan memberikan impact pada mata uang, nampaknya akan jadi kambing hitam dari apapun masalah dalam negeri disebabkan krisis midle east.


“Padahal awal perang Iran vs Israel kemarin tidak ada dampak signifikan pada mata uang rupiah, dimana rupiah melemah sebenarnya disebabkan oleh masalah fundamental ekonomi dalam negeri” tegas Wijayanto.


M. Subhi Ibrahim (Universitas Paramadina) melihat dari sisi keagamaan dimana gambaran umum Iran saat Subhi berkunjung khususnya ke kota Masyhad, yang merupakan kota kedua terbesar setelah Teheran. Disana ada pusat ziarah besar dari mahzab syiah, ada makam Imam Ali Reza yang menggerakan perekonomian masyarakat dengan sangat hebat.


Subhi menyampaikan bahwa Qom merupakan pusat kota para santri dan ziarah, pada dasarnya masyarakat Iran tidak terlepas dari ziarah. “Secara tidak langsung sangat dekat dengan spiritual, atau memiliki kedekatan agama yang cukup intensif” kata Subhi.


Pertama, apresiasi yang sangat dalam dari pemerintah Iran terhadap Indonesia, karena sampai saat ini kebijakan luar negerinya masih tidak membuka hubungan diplomatic dengan Israel. Kedua, gaya tahan dan gaya adaptasi yang dimiliki oleh masyarakat Iran pasca di embargo 1979 pasca revolusi iran dibawah Reza Pahlevi yang didorong oleh Amerika Serikat.


“Menariknya, Iran mencoba untuk bertahan dibawah tekanan. Harga bensin di Iran sangat murah, jika di konversi ke rupiah tidak mencapai Rp. 1.000 per liter. Iran merupakan negara yang kaya secara intelektual, sehingga sangat terbuka untuk membangun dan mempererat hubungan dengan Indonesia karena merasakan kedekatan dengan islam di Indonesia” tuturnya.