EmitenNews.com -Isu keberlanjutan dan transisi menuju energi terbarukan semakin menjadi sorotan global. Di tengah upaya mengurangi emisi karbon dan ketergantungan pada bahan bakar fosil, energi terbarukan muncul sebagai solusi masa depan. Namun, perjalanan menuju masa depan hijau ini tidak selalu bersih dari kontroversi. Salah satu isu terbaru yang menggambarkan paradoks ini adalah penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat, yang menuai kritik tajam dari publik dan aktivis lingkungan.

Pada Selasa, 3 Juni 2025, dalam forum Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Jakarta, sekelompok aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi protes terhadap aktivitas penambangan nikel di kawasan Raja Ampat. Aksi ini segera menjadi viral di media sosial, terutama melalui unggahan Instagram dengan tagar #SaveRajaAmpat yang tersebar luas dalam bentuk template cerita. Publik menyuarakan keresahan atas kerusakan ekosistem salah satu kawasan paling indah dan beragam hayatinya di dunia.

Greenpeace melaporkan bahwa aktivitas tambang telah merusak kawasan yang ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO. Kawasan ini seharusnya mendapatkan perlindungan khusus karena nilai ekologis, geologis, dan keanekaragaman hayatinya yang tinggi. Dalam laporan visual Greenpeace, terlihat adanya penebangan hutan dan pengerukan tanah di dekat wilayah pesisir, yang tidak hanya merusak lanskap, tetapi juga mengancam ekosistem laut di sekitarnya.

Merespon tekanan publik, pemerintah Indonesia melalui Menteri investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengumumkan pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) untuk empat perusahaan yang beroperasi di Raja Ampat, yaitu: PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham. Namun, satu perusahaan—PT GAG Nikel—lolos dari pencabutan izin karena dianggap telah memenuhi ketentuan teknis dan administratif yang berlaku.

Mengapa nikel begitu penting dalam diskusi energi terbarukan? Nikel merupakan bahan baku kunci dalam pembuatan baterai lithium-ion, yang digunakan pada kendaraan listrik (EV), penyimpanan energi terbarukan, dan berbagai perangkat elektronik. Kebutuhan dunia terhadap nikel kelas tinggi meningkat drastis seiring pertumbuhan industri kendaraan listrik dan instalasi energi surya dan angin yang membutuhkan sistem penyimpanan energi canggih.

Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar di dunia, memiliki peran strategis dalam rantai pasokan global transisi energi. Pemerintah pun mendorong hilirisasi tambang, membangun smelter, dan menarik investasi untuk membentuk ekosistem baterai nasional. Dalam konteks ini, tekanan terhadap cadangan nikel—termasuk di wilayah sensitif seperti Raja Ampat—menjadi tidak terhindarkan.

Namun, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah apakah kita benar-benar bergerak menuju energi ‘bersih’ jika dalam prosesnya kita mengorbankan lingkungan dan masyarakat adat? Apakah transisi energi layak disebut berkelanjutan jika mengorbankan ekosistem yang selama ini menjadi penyangga kehidupan?

Transisi energi yang hanya berfokus pada kebutuhan industri tanpa memperhatikan dampak sosial dan ekologis berisiko menimbulkan paradoks hijau. Seolah-olah demi menyelamatkan bumi dari pemanasan global, manusia justru merusaknya melalui eksploitasi sumber daya yang tidak terkendali. Hal ini tercermin dari pernyataan banyak aktivis bahwa ‘tidak ada energi hijau dari pertambangan yang kotor’.

Kawasan Raja Ampat tidak hanya memiliki cadangan nikel, tetapi juga menjadi rumah bagi ribuan spesies laut dan terumbu karang yang unik di dunia. Merusak kawasan ini berarti menghilangkan fungsi ekologis yang tidak tergantikan. Selain itu, masyarakat lokal yang hidup dari laut dan kehutan tradisional bisa kehilangan sumber penghidupan dan identitas budayanya.

Kelistrikan baru bukan hanya soal membangun pembangkit listrik tenaga surya atau angin. Lebih dari itu, kelistrikan baru adalah konsep sistem energi yang terdesentralisasi, inklusif, dan memperhatikan keadilan sosial. Artinya, dalam pengembangan energi baru dan terbarukan, aspek pemerataan akses, pelibatan masyarakat lokal, dan perlindungan lingkungan menjadi komponen penting.

Desentralisasi energi misalnya memungkinkan desa-desa terpencil memiliki pembangkit listrik tenaga surya skala kecil, tanpa harus merusak alam sekitar untuk pembangunan jaringan atau tambang besar. Konsep ini berkembang pesat di beberapa wilayah Indonesia, dan terbukti lebih adaptif serta berkelanjutan dibandingkan proyek-proyek besar yang top down.

Isu penambangan nikel dan pencabutan IUP oleh pemerintah membawa dampak ke pasar saham, khususnya saham-saham sektor tambang dan energi. Dalam beberapa hari setelah ramai protes terhadap keresahan atas kerusakan akibat penambangan, saham-saham emiten tambang yang memiliki eksposur ke nikel mengalami fluktuasi.

Sebagai investor khawatir langkah pemerintah akan memperketat izin tambang di masa depan, meningkatkan risiko regulasi bagi sektor pertambangan. Namun, sebagian lainnya melihat langkah ini sebagai bentuk komitmen terhadap keberlanjutan, yang dalam jangka panjang justru mendukung stabilitas bisnis dan reputasi Indonesia di mata investor global.

Selain saham tambang, sektor energi baru dan terbarukan di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga mendapatkan sorotan. Emiten-emiten yang bergerak di bidang pembangkit listrik EBT (Energi Baru Terbarukan), mengalami peningkatan volume transaksi. Investor mulai mengalihkan perhatian ke saham-saham yang mendukung transisi energi bersih.

Tidak hanya itu, investor institusi besar juga mulai menerapkan pronsip ESG (Environmental, Social, Governance) dalam memilih portofolio saham. Emiten yang terlibat dalam praktik-praktik merusak lingkungan mulai dijauhi oleh investor global, sedangkan perusahaan yang terbukti berkelanjutan, transparan, dan patuh terhadap regulasi justru mendapat insentif dari pasar. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mendorong stabilitas IHSG secara keseluruhan, karena saham-saham berbasis ESG biasanya lebih tahan terhadap guncangan eksternal, seperti isu lingkungan dan tekanan sosial.

Analis pasar juga mencatat bahwa perubahan kebijakan pemerintah terhadap sektor tambang berisiko menciptakan volatilitas jangka pendek, tetapi berpotensi membuka jalan bagi reformasi industri yang lebih selaras dengan tren global. Dengan meningkatnya tekanan dari investor internasional dan institusi keuangan terhadap isu keberlanjutan, IHSG dapat diuntungkan apabila semakin banyak emiten yang melakukan transformasi hijau.