FDI Indonesia Terjun Tajam: Sinyal Krisis atau Momentum Berbenah?

ilustrasi indeks mengalami koreksi. Dok/EmitenNews.com
EmitenNews.com -Indonesia, sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, kembali menjadi pusat perhatian pasar global. Namun, sorotan kali ini bukan datang dari kabar baik tentang pencapaian industri strategis atau lonjakan ekspor nonmigas. Sebaliknya, perhatian itu tertuju pada penurunan tajam aliran investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) ke Tanah Air pada kuartal II tahun 2025.
Berdasarkan laporan resmi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai FDI Indonesia tercatat hanya sebesar Rp202,2 triliun, atau sekitar USD12,3 miliar. Ini menandai penurunan 6,95% secara tahunan (year-on-year) jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2024, dan merupakan penurunan terdalam sejak pandemi COVID-19 pada 2020. Di tengah upaya pemulihan ekonomi dan ekspansi industri nasional, angka ini menjadi tamparan realitas yang tidak bisa diabaikan.
Paradoks Investasi: Modal Asing Menyusut, Modal Lokal Meningkat
Penurunan FDI tentu menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini hanya gejolak eksternal yang sementara, atau gejala kronis dari persoalan struktural yang tak kunjung dibenahi di dalam negeri?
Menariknya, penurunan FDI ini terjadi dalam konteks di mana total investasi langsung, baik asing maupun domestik, masih menunjukkan performa yang cukup kuat. BKPM mencatat, total investasi langsung pada periode April hingga Juni 2025 mencapai Rp477,7 triliun. Dari angka tersebut, investor dalam negeri mengambil porsi dominan, menyumbang Rp275,5 triliun. Hingga akhir Juni, akumulasi realisasi investasi sudah mencapai Rp943 triliun, atau hampir 50% dari target tahunan Rp1.905,6 triliun.
Tak hanya itu, kontribusi terhadap ekonomi riil pun cukup nyata. Lebih dari 665 ribu lapangan kerja baru berhasil tercipta. Secara makro, ini memberi sinyal bahwa daya dorong ekonomi domestik masih terjaga. Namun demikian, fakta bahwa investor asing justru menahan ekspansi tetap menjadi tanda bahaya yang tidak bisa diabaikan.
Tekanan Global Meningkat: Perang Dagang, Tarif Impor, dan Geopolitik
Dalam keterangan pers, Menteri Investasi Rosan Roeslani menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama anjloknya FDI adalah eskalasi ketegangan geopolitik global. Perang dagang antara Amerika Serikat dan sejumlah mitranya telah berdampak langsung pada produk-produk ekspor Indonesia yang dikenakan tarif impor tambahan, meskipun beberapa kebijakan tersebut kemudian dikaji ulang.
Ketidakpastian akibat proteksionisme global ini menciptakan suasana hati-hati di kalangan investor internasional. Banyak dari mereka yang memilih menunda ekspansi atau mengalihkan modal ke negara-negara dengan profil risiko lebih rendah.
Di samping itu, konflik di Laut Cina Selatan, ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan, serta konflik berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina menambah beban psikologis pasar terhadap kawasan Asia secara umum. Meskipun Indonesia relatif stabil secara politik, keberadaannya di tengah pusaran geopolitik menjadikannya ikut terkena dampak dari ketegangan regional.
Kaca Pembesar ke Dalam: Masalah Struktural Masih Mengakar
Menjadikan kondisi global sebagai satu-satunya alasan tentu tidak adil. Penurunan FDI juga mengindikasikan adanya tantangan serius di dalam negeri yang belum terselesaikan secara menyeluruh. Ketidakpastian regulasi, perubahan kebijakan yang kerap berubah arah, dan kompleksitas birokrasi menjadi keluhan umum di kalangan pelaku usaha asing.
Pemerintah memang telah meluncurkan sistem perizinan terintegrasi Online Single Submission (OSS), tetapi efektivitasnya belum dirasakan merata, terutama di tingkat daerah. Proses bisnis yang lambat dan tidak sinkron antarlembaga membuat banyak investor harus melalui jalur panjang yang menghabiskan waktu dan biaya.
Di sisi lain, persoalan ketenagakerjaan juga menjadi hambatan tersendiri. Banyak investasi di sektor teknologi tinggi terkendala karena kurangnya tenaga kerja terampil yang sesuai dengan kebutuhan industri. Problem skill mismatch ini menjadi ironi di tengah bonus demografi yang seharusnya menjadi kekuatan ekonomi nasional.
Keterbatasan infrastruktur di luar Pulau Jawa juga masih menjadi isu lama yang tak kunjung terpecahkan. Biaya logistik yang tinggi dan konektivitas antarwilayah yang belum optimal turut mengurangi efisiensi investasi, terutama bagi sektor manufaktur dan logistik yang berbasis distribusi.
Pola Investasi: Ketergantungan Tinggi pada Sektor Ekstraktif
Meskipun nilai investasi asing menurun, distribusi sektor yang diminati tidak banyak berubah. Sektor-sektor seperti logam dasar, pertambangan, logistik, telekomunikasi, dan layanan digital tetap menjadi primadona. Negara asal investor juga masih didominasi oleh Singapura, Hong Kong, dan Tiongkok, tiga negara yang konsisten menjadi mitra strategis dalam beberapa tahun terakhir.
Related News

Euforia Investor: Mitos dan Fakta yang Perlu Anda Ketahui

Delisting dari BEI: Cerminan Masalah Fundamental atau Strategi Bisnis?

IPO Bertubi-tubi, Investor Seakan Main Kartu: Mana Meledak Mana Gagal?

Backdoor Listing: Jalan Pintas atau Jebakan Batman di Bursa Saham?

Kaya tapi Tetap Merasa Kurang: Efek Dunning-Kruger Finansial

Menakar Cuan dari Barang Basah dan Kering Ketika IPO Saham