EmitenNews.com - International Monetary Fund (IMF) memprediksi ekonomi global tumbuh 3,2 persen pada 2022. Ekonomi kawasan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), diproyeksi turun menjadi 2,5 persen tahun ini. Itu tidak berbeda dengan proyeksi APEC Policy Support Unit. 


Pemicunya, tekanan inflasi menyusul kenaikan harga komoditas menyebabkan risiko pelemahan ekonomi. Untuk itu, APEC perlu memikirkan bagaimana mengarahkan langkah-langkah stimulus dari Covid-19 guna mendorong pertumbuhan jangka panjang sambil menjaga kesinambungan fiskal. Para Menteri APEC mengeksplorasi berbagai langkah kebijakan untuk lebih mempromosikan digitalisasi ekonomi, dan pembiayaan keberlanjutan guna mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk melalui kebijakan fiskal, rezim perpajakan, program redistribusi, insentif investasi, memanfaatkan digitalisasi, dan mengejar pembangunan berkelanjutan.


Selain itu, berkomitmen menjaga inflasi guna mengurangi peningkatan biaya hidup, dan kemiskinan. Berkomitmen menjaga perdagangan tetap terbuka sambil melindungi orang dari kebangkitan Covid-19 atau pandemi lain di masa depan. ”Bagi Indonesia, penting menemukan sumber pertumbuhan baru, dan melanjutkan reformasi struktural, termasuk pembangunan infrastruktur,’’ tutur Wakil Menteri Keuangan Indonesia, Suahasil Nazara, dalam Pertemuan Para Menteri Keuangan ke-29 (The 29th APEC FMM) di Bangkok, Thailand pada 20 Oktober 2022.


Saat ini, para investor menunggu waktu tepat untuk keluar dari krisis. Indonesia melakukan tiga exit strategy, yaitu bagaimana APBN dapat kembali ke level defisit sebelum pandemi, bagaimana Bank Sentral dapat mendapatkan likuiditas dari luar sistem setelah penempatan besar selama periode pandemi, dan bagaimana mengembalikan kebijakan prudential supervisory yang biasanya dilakukan relaksasi selama pandemi. 


Ketiga exit strategies itu, perlu dikoordinasikan, termasuk dukungan mitra pembangunan, dikomunikasikan dengan baik, dan perlu menjaga diskusi dengan negara lain mengenai exit strategy memadai. Indonesia mendukung agenda prioritas Thailand pembiayaan berkelanjutan. ”Indonesia telah memperbaharui National Determined Contribution (NDC) menjadi 31,89 persen dengan sumber daya domestik, dan 43,2 persen dengan dukungan internasional,” imbuhnya.


Indonesia akan terus melanjutkan komitmen menurunkan net zero emission pada 2060 atau lebih awal, bekerja sama dengan ADB melalui pembentukan Energy Transition Mechanism (ETM) country platform, dan rencana penerapan peraturan perpajakan baru mencakup pajak karbon. ”Perbedaan pandangan politik di antara ekonomi anggota APEC perlu disikapi dengan bijak. APEC perlu terus menunjukkan semangat kerja sama internasional. Untuk itu, keterlibatan seluruh pihak secara produktif, dan konstruktif diperlukan untuk mencapai kemakmuran bersama kawasan,” tegas Arkhom Termpittayapaisith, Menteri Keuangan Thailand. 


Pada Keketuaan APEC 2022, Thailand mengusung dua agenda prioritas untuk jalur keuangan, yaitu pembiayaan berkelanjutan dan ekonomi digital. Digitalisasi terbukti menjadi pendorong utama pertumbuhan, terutama lingkungan global makin meningkat. Namun, pertumbuhan harusnya tidak mengorbankan lingkungan memburuk secara signifikan. Untuk itu, pembangunan berkelanjutan harus menjadi agenda global, termasuk kawasan APEC.


Para Menteri Keuangan mendiskusikan kondisi terkini perekonomian global dan kawasan, dengan mendengar beberapa pandangan dari APEC Policy Support Unit, dan perwakilan Lembaga Keuangan Internasional mengenai prospek ekonomi global, dan regional. 


Mengusung tema “Memajukan Digitalisasi, Mencapai Keberlanjutan”, chair pertemuan menekankan pentingnya upaya bersama ekonomi APEC untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, menjaga kelestarian lingkungan, menyoroti digitalisasi ekonomi, dan pembangunan berkelanjutan akan menjadi kunci bagi pencapaian tujuan kemakmuran bersama di kawasan APEC.


Pertemuan juga dihadiri perwakilan Lembaga Keuangan Internasional, APEC Sekretariat, APEC Policy Support Unit, dan OECD. Para Menteri bertemu di tengah kondisi ekonomi global tidak pasti. Di mana,  pemulihan dari pandemi Covid-19 masih lemah, dan risiko makroekonomi meningkat. Misalnya, tingkat inflasi tinggi, fragmentasi geopolitik, volatilitas harga energi dan pangan, gangguan rantai pasokan, proyeksi pertumbuhan lemah, pengetatan kondisi keuangan, dan risiko perubahan iklim. (*)