EmitenNews.com - Perekonomian global terlihat mulai menunjukan perbaikan yang cukup kuat, khususnya beberapa negara yang mulai membuka perbatasan untuk kedatangan wisatawan internasional. Kebijakan The Fed juga tetap netral sesuai dengan rencana awal, yaitu akan tetap melakukan tapering sebesar USD 15 Miliar setiap bulannya.


Selain itu, ketua The Fed, Jerome Powell, masih akan mempertimbangkan untuk rencana kenaikan suku bunga acuan, dengan melihat rilisan beberapa data ekonomi, khususnya data ketenagakerjaan terlebih dahulu. 


"Adanya kekhawatiran awal bahwa varian baru COVID-19 Omicron dapat mengganggu proses pembukaan ekonomi secara penuh, tidak menyebabkan kepanikan dalam pada pasar global. Hal ini karena beberapa ahli berpendapat bahwa tingkat keparahan yang diderita akibat Omicron tidak setinggi yang diperkirakan sebelumnya," kata Juky Mariska Wealth Management Head, Bank OCBC NISP (NISP) dalam keterangan tertulis yang diterima EmitenNews.com.


Di pasar domestik, keadaan terlihat semakin membaik dengan rendahnya laju kasus harian COVID-19, percepatan vaksinasi, dan juga dari sisi data ekonomi Indonesia yang menunjukan akselerasi. Angka inflasi Indonesia dirilis di level 1.77% di bulan November lalu dan hal ini menunjukan bahwa konsumsi mulai bangkit secara perlahan di tengah proses pemulihan ekonomi yang terjadi. 


Indikator aktivitas manufaktur mengalami penurunan, dari 57.2 ke 53.9. Adanya kenaikan bahan baku produksi mendorong kenaikan harga, sehingga mengakibatkan penurunan permintaan. Selain itu pula, para pelaku pasar merespon positif terkait dengan rencana pemerintah yang membatalkan kebijakan PPKM level 3 menjelang liburan Natal dan Tahun Baru pada akhir tahun ini.



Hal ini berarti, aktivitas ekonomi masih dapat berjalan meskipun terdapat beberapa pengetatan untuk menghindari lonjakan kasus seperti seperti pada bulan Juni – Juli lalu.


IHSG mengalami pelemahan sebesar -0.87% di bulan November 2021, yang mana pelemahan ini sudah diantisipasi oleh pelaku pasar mengingat secara historis, IHSG berpotensi untuk melemah di bulan November.


Pelemahan yang terjadi juga disebabkan oleh aksi jual investor asing yang terihat keluar dari bursa saham domestik sebesar USD 73.7 Juta selama bulan November, seiring dengan sentimen negatif terkait Omicron yang telah menyebar ke beberapa negara. 


Namun demikian, pertumbuhan kasus harian dalam negeri tetap terkendali dan berada di level terendah di kisaran 200-300 kasus per hari. Redanya kekhawatiran Omicron akan mendorong investor untuk kembali risk-on dan IHSG berpotensi untuk melanjutkan kenaikan pada kisaran 6,700 – 6,800 seiring dengan siklus window dressing di akhir tahun.


Di tengah nada Fed yang lebih agresif dalam melakukan tapering, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia masih tetap terjaga di level 6.07% menutup bulan November. Kestabilan yang terjadi pada imbal hasil ini didukung oleh beberapa faktor seperti realisasi burden sharing Bank Indonesia serta telah berakhirnya lelang SUN untuk 2021.


Selain itu pula, animo investor domestik yang masih antusias terhadap pasar obligasi domestik di tengah rendahnya suku bunga, turut mendorong kestabilan harga obligasi. Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun dalam jangka pendek diperkirakan akan berada di kisaran 6.1 hingga 6.4 persen.


Di bulan November, Rupiah kembali mengalami pelemahan terhadap Dolar AS -1.5% ke level 14,335. Pelemahan Rupiah ini lebih disebabkan oleh nada kebijakan Fed yang lebih hawkish dengan wacana untuk melakukan tapering lebih cepat serta potensi kenaikan suku bunga lebih cepat pada tahun 2022 mendatang.


Adanya kenaikan permintaan Dolar AS yang seringkali terjadi pada siklus akhir tahun, berpotensi untuk menekan pergerakan Rupiah. Namun demikian, dengan ekonomi yang kini berada pada fase pemulihan, maka pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan membaik di tahun ini. Dengan demikian, Rupiah akan diperdagangkan di kisaran di 14,300-14,550 hingga akhir tahun 2021.