EmitenNews.com - Jangan ragukan loyalitas TNI dalam menjaga ideologi Pancasila. Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting menjelaskan, TNI merupakan benteng terakhir pengawal ideologi Pancasila. TNI menjadi salah satu profesi di Indonesia yang wajib memegang teguh ideologi Pancasila. Bukan ideologi lainnya di luar Pancasila.


“TNI sudah belajar banyak dari pengkhianatan ideologi lain, termasuk PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1948 dan 1965. Sehingga TNI berusaha keras untuk tidak lagi disusupi ideologi lain, termasuk ideologi komunis,” kata kandidat doktor ilmu politik itu, di Jakarta, Rabu (29/9/2021).


Selamat Ginting menanggapi pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo yang mengindikasikan terjadinya penyusupan di tubuh TNI pada sebuah webinar Ahad (26/9) malam dengan tema: TNI vs PKI. Gatot menyoroti hilangnya patung tiga tokoh sentral pemberantasan G-30-S/PKI, di Museum Kostrad, Jakarta Pusat. Pada bekas ruang kerja Panglima Kostrad pertama Jenderal Soeharto, tidak ada lagi patung Soeharto, Jenderal AH. Nasution, dan Jenderal Sarwo Edi, yang menggambarkan penyusunan strategi pemberantasan PKI.


“Jangankan komunis, ketika partai politik dan kelompok lainnya ragu-ragu menerima atau menolak ide Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), Angkatan Darat dengan tegas menolak Nasakom, karena bertentangan dengan Pancasila. Itu pula yang dimaksud politik TNI adalah politik negara,” ungkap Ginting. 


Dalam catatan Selamat Ginting, pimpinan TNI tahun 1962-1965, terutama Menteri Koordinator (Menko) Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) Jenderal TNI AH Nasution, serta Menteri /Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani dkk menolak tegas nasakomisasi, ideologi komunis serta rencana pembentukan Angkatan Kelima, yakni buruh tani dipersenjatai. Mereka kemudian menjadi korban kebiadaban PKI.


“Belajar dari pengalaman buruk penghianatan PKI tersebut, TNI tentu berusaha keras akan menolak ideologi lain. Karena itu, menjadi tanda tanya besar jika ada yang meragukan ideologi prajurit TNI saat ini,” ungkap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.


Ginting tidak sependapat dengan pernyataan tudingan Gatot Nurmantyo. Alasannya, ada dua hal. Pertama; para prajurit telah diikat dalam sumpah ketika dilantik menjadi prajurit TNI. Dalam sumpah dan janji pertamanya dinyatakan: akan setia kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


Kedua; para prajurit TNI diikat dengan tujuh jalan hidupnya yang disebut Sapta Marga. Pada marga pertama dan kedua, jelas-jelas disebutkan tentang Pancasila. Pada marga pertama, sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila. Kemudian pada marga kedua, sebagai patriot Indonesia, pendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah.


“Mengapa Gatot Nurmantyo tidak mengacu pada dua hal tersebut? Apalagi Gatot pernah menjadi Panglima Kostrad (Komndo Cadangan Strategis Angkatan Darat), KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) dan Panglima TNI. Mengapa dia meragukan penerusnya di TNI saat ini,” kata Ginting penuh tanya.


Setelah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G30S)/PKI, menurut Ginting, dalam rekrutmen prajurit TNI, sangat ketat menyeleksi penilaian mental ideologi. Bahkan ditelusuri hingga garis keturunan orang tua dan kakek neneknya. Sering disebut sebagai bersih diri dari ideologi lain, selain Pancasila.


Para perwira tinggi aktif saat ini, umumnya justru lahir setelah peristiwa kelam tahun 1965. Ginting yang malang melintang sebagai wartawan senior dalam liputan pertahanan keamanan negara itu, mencontohkan Panglima Kostrad Letjen Dudung Abdurachman, misalnya. Kelahiran November 1965, dari keluarga besar TNI di Kodam Siliwangi. Kodam Siliwangi dikenal sebagai institusi yang sangat antikomunis sejak bernama Divisi Siliwangi dipimpin Kolonel (Infanteri) AH Nasution. “Ingat, ujung tombak penumpasan pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun dan sekitarnya adalah Siliwangi.” ***