EmitenNews.com - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan jaring tarik berkantong (JTK) berbeda dengan cantrang. Perbedaan mendasar terletak pada bentuk mata jaring bagian kantong. JTK berbentuk persegi (square) mesh, sementara cantrang berbentuk diamond mesh. 


Perbedaan lain ada pada panjang tali selambar dan tali ris atas. Panjang tali selambar cantrang kurang dari atau sama dengan 1.800 meter tiap sisi sementara JTK kurang dari atau sama dengan 900 meter tiap sisi. Tali ris atas cantrang lebih dari atau sama dengan 90 meter sedangkan JTK kurang dari atau sama dengan 90 meter.


Spesifikasi teknis JTK diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.


Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini menjelaskan, JTK merupakan kategori jaring tarik dengan ukuran mata jaring di atas 2 inci. Selain itu, JTK hanya dapat dioperasikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 712 (Perairan Laut Jawa ) di atas 12 mil dan WPPNRI 711 (Laut Natuna Utara) di atas 30 mil, dengan pembatasan jumlahnya.


“Kapal JTK yang sudah melaut kami pastikan sudah mendapatkan izin dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kalau mata jaring kurang dari 2 inci pasti tidak akan kami rekomendasikan apalagi diterbitkan izinnya. Bahkan di SIPI-nya tercantum di atas 30 mil untuk di Laut Natuna,” paparnya saat berdialog dengan Wakil Bupati, DPRD dan nelayan Natuna, Jumat (11/3/2022) di Jakarta.


Menanggapi isu nelayan cantrang yang beroperasi di Natuna, Zaini mengatakan KKP telah menindak tegas kapal perikanan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Dia juga menegaskan, KKP tidak lagi menerbitkan izin cantrang karena dinilai tidak ramah lingkungan.


Senada, Direktur Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Ditjen PSDKP, Drama Panca Putra mengatakan pengawasan semakin diintensifkan untuk memastikan ketentuan dipatuhi oleh pelaku usaha. Drama juga mengapresiasi partisipasi masyarakat dalam pengawasan termasuk melalui penyampaian aspirasi ini. Lebih lanjut, Drama juga mengajak pemerintah daerah berperan dalam pengawasan khususnya untuk perairan sampai dengan 12 mil.


“Kita perlu bersinergi dalam pelaksanaan pengawasan ini, kami juga perlu dukungan dari pemerintah daerah dalam merespon keluhan masyarakat karena pada dasarnya aspirasi masyarakat yang disampaikan adalah terkait pengawasan sampai dengan 12 mil yang berdasarkan undang-undang merupakan kewenangan Provinsi," ujarnya.


Pada kesempatan yang sama, Wakil Bupati Natuna Rodhial Huda meminta KKP dapat meningkatkan pengawasan di Laut Natuna. Tidak hanya mengawasi kegiatan kapal asing di perbatasan, namun juga kapal dalam negeri yang menyalahi aturan.


“Kami harap kapal pantura yang menangkap ikan di Natuna dikawal jalur penangkapan ikannya, jangan masuk ke wilayah pesisir di bawah 30 mil. Karena ini merugikan nelayan tradisional dan mengganggu sumber daya ikan,” tandasnya.


Pada kesempatan dialog tersebut dibahas pula rencana KKP mengimplementasikan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur, melalui penerapan pembatasan kuota sumber daya ikan. Dengan kebijakan tersebut, ke depannya ikan yg ditangkap wajib didaratkan di WPP tersebut, dengan demikian akan terjadi redistribusi ekonomi.  


Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur diharapkan dapat mendorong pembangunan ekonomi dan pemberdayaan nelayan di Natuna. Nelayan setempat dapat memanfaatkan kuota nelayan lokal atau bekerja pada armada kapal tangkap yang lebih besar.


Di samping penerapan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur, juga akan dibangun kampung-kampung nelayan maju, yang salah satunya berada di Kepulauan Natuna.


Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono melalui Ditjen PSDKP telah menindak tegas kapal perikanan asal pantura yang beroperasi ilegal di bawah 30 mil di perairan Natuna. KKP juga memberlakukan sanksi administratif atas pelanggaran yang dilakukan karena melakukan kegiatan penangkapan ikan tidak sesuai dengan daerah penangkapan yang ditetapkan.