EmitenNews.com - Terdakwa Muhammad Kerry Adrianto, anak pengusaha migas Muhammad Riza Chalid menjalani sidang pembacaan dakwaan kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/10/2025). JPU mendakwa Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa itu, bersama empat terdakwa lainnya, telah merugikan keuangan negara hingga kurang lebih Rp285,1 triliun.

Jaksa Penuntut Umum memastikan bahwa perbuatan lima orang terdakwa tersebut masih berkesinambungan dengan perbuatan terdakwa atau tersangka lainnya. 

“Itu rangkaian perbuatan daripada terdakwa yang menjadi rangkaian penuh dan akhirnya menyebabkan kerugian keuangan negara sekitar Rp285 triliun. Total seperti itu,” ujar Jaksa Triyana Setia Putra saat memberikan keterangan usai sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (13/10/2025).

Triyana Setia Putra, salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus ini, menegaskan bahwa perbuatan para terdakwa merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Kata JPU, perbuatan melawan hukum ini ditemukan dari hulu ke hilir tata kelola minyak mentah. 

“Semua klaster di dakwaan Pertamina itu satu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan. Tata kelola mulai dari hulu, dari impor-ekspor minyak mentah, sampai nanti ke ada penjualan solar maupun subsidi BBM,” jelas Jaksa Triyana.

Dalam dakwaan, jaksa memecah perbuatan para terdakwa dalam beberapa klaster. Misalnya, untuk sewa terminal bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan merugikan keuangan negara hingga Rp2,9 triliun. Di sini, perusahaan yang terafiliasi dengan Kerry dan Komisaris PT Jenggala Maritim serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo, meneken kerja sama penyewaan terminal BBM Merak dengan PT Pertamina Patra Niaga. 

Ironisnya, saat itu Pertamina belum membutuhkan terminal BBM tambahan, tetapi dengan memenuhi permintaan Riza Chalid melalui orang-orang kepercayaannya, yang menjadi pengelola perusahaannya.

Perjanjian tersebut juga merugikan negara karena aset terminal BBM Merak ini tidak dicantumkan sebagai aset Pertamina, tetapi justru menjadi aset PT Orbit Terminal Merak (PT OTM) yang terafiliasi dengan Kerry. 

Lalu, untuk kerugian negara akibat ekspor minyak mentah dengan prosedur yang bermasalah ini diduga mencapai USD1.819.086.068,47. 

Untuk kerugian keuangan negara dari faktor impor minyak mentah disebutkan mencapai USD570.267.741,36. 

Jaksa mendakwa para terdakwa untuk aspek kerugian perekonomian negara mencapai Rp171.997.835.294.293,00

Kemudian, aspek lainnya, jaksa mengatakan ada kerugian perekonomian negara sebesar Rp171.997.835.294.293,00, kemahalan dari harga pengadaan BBM yang berdampak pada beban ekonomi yang ditimbulkan dari harga tersebut.

Selanjutnya, illegal gain sebesar USD2.617.683.340,41. Keuntungan ilegal ini disebutkan didapat dari selisih antara harga perolehan impor BBM yang melebihi kuota dengan harga perolehan minyak mentah dan BBM dari pembelian di dalam negeri. 

Senin ini, dalam sidang agenda pembacaan dakwaan, selain untuk terdakwa Muhammad Kerry, terdapat empat terdakwa lainnya mengikuti persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan. 

Mereka, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono; Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati; dan Komisaris PT Jenggala Maritim serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo. 

Lalu, empat orang lainnya sudah lebih dahulu mengikuti sidang pembacaan dakwaan, yaitu pada Kamis (9/10/2025). Di antaranya, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan; Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; 

Berikutnya lagi, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.