EmitenNews.com - Sepanjang 2021 harga batu bara global terus merangkak naik. Bahkan memasuki semester kedua hingga menjelang akhir tahun, harga mineral ini melesat tinggi hingga menyentuh harga tertinggi sepanjang masa. Lonjakan dipengaruhi berbagai aspek, terutama untuk memenuhi kebutuhan energy yang disebabkan oleh pembukaan kembali ekonomi pasca pandemi. Berbagai komplikasi tambahan seperti gangguan pasokan dan konflik antar negara, ditambah dengan permintaan yang untuk menyambut musim dingin serta banjir di provinsi Shanxi, pusat penambangan batu bara terbesar di China.


Tahun 2022, harga batubara diprediksi akan terus melejit dampak permintaan yang tinggi dan pasokan yang terus menyusut. Kenaikan ini tentunya turut mendongkrak harga batubara nasional. Mengutip data International Energy Agency (IEA), Indonesia mengekspor sebanyak 455 juta ton batubara ke seluruh dunia pada 2019, dan bergerak menjadi 400 juta ton pada 2020 imbas pandemi Covid-19. Posisi tersebut menunjukkan Indonesia sebagai negara eksportir batubara yang mendominasi di pasar global.


Sedangkan China menempati posisi teratas negara importir batubara di dunia. Hubungan yang memburuk antara China dengan Australia membuat Indonesia kini jadi pemasok batubara utama, dimana impor batubara China dari Indonesia naik 60% sejak akhir November 2021, menurut data Bea Cukai China. Dapat disimpulkan bahwa sepanjang batubara masih menjadi sumber utama pembangkit listrik di berbagai negara, batubara Indonesia akan terus menjadi primadona dunia.


PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk resmi berganti nama menjadi PT MNC Energy Investments Tbk (IATA atau Perseroan). Perseroan sekaligus mengubah kegiatan usaha utamanya dari perusahaan pengangkutan udara niaga dan jasa angkutan udara, menjadi bidang investasi dan perusahaan induk, khususnya di sektor pertambangan batubara. Perubahan ini dilakukan untuk memitigasi kerugian akibat pandemi Covid-19. 


Mengingat industri penerbangan masih belum pulih, IATA meyakini ekspansi di bidang usaha baru menjadi solusi untuk memperbaiki nilai perusahaan. Memanfaatkan momentum yang timbul dari lonjakan harga komoditas batubara yang berkelanjutan dan permintaannya yang terus meningkat, IATA mengambil langkah strategis dengan merambah ke sektor energi, khususnya tambang batubara.


RUPSLB juga menyetujui pengalihan aset transportasi udara kepada salah satu anak usaha IATA yang dimiliki 99,99% yakni PT Indonesia Air Transport (IAT), yang juga telah mengantongi Sertifikat Operator Pesawat Udara dari Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Dengan demikian, IAT resmi dapat menyelenggarakan angkutan udara niaga sesuai dengan petunjuk pengoperasian dan Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil yang berlaku.


Agar lebih merefleksikan kegiatan usaha dan memperkuat posisi Perseroan dalam industrinya, pada kesempatan ini, PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk resmi berganti nama menjadi PT MNC Energy Investments Tbk.


Perseroan juga telah mendapat restu dari pemegang sahamnya untuk mengambilalih 99,33% saham PT Bhakti Coal Resources (BCR) dari PT MNC Investama Tbk (BHIT). 


BCR merupakan perusahaan induk dari sembilan perusahaan batubara dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, yang meliputi:


PT Bhumi Sriwijaya Perdana Coal (BSPC) dan PT Putra Muba Coal (PMC), keduanya sudah beroperasi dan aktif menghasilkan batubara dengan kisaran GAR 2.800 – 3.600 kkal/kg. Dengan total area seluas 9.813 ha, BSPC memiliki perkiraan total sumber daya 130,7 juta MT, sementara PMC memiliki 76,9 juta MT, dengan perkiraan total cadangan masing-masing sebesar 83,3 juta MT dan 54,8 juta MT. 


PT Indonesia Batu Prima Energi (IBPE) dan PT Arthaco Prima Energi (APE), keduanya ditargetkan untuk memulai produksi batubara dalam tahun ini. Ditambah lagi, PT Energi Inti Bara Pratama (EIBP), PT Sriwijaya Energi Persada (SEP), PT Titan Prawira Sriwijaya (TPS), PT Primaraya Energi (PE), dan PT Putra Mandiri Coal (PUMCO) yang sedang disiapkan untuk beroperasi dalam satu atau dua tahun dari sekarang. Tujuh IUP dengan luas 64.191 ha ini memiliki estimasi total sumber daya sebesar lebih dari 1,4 miliar MT. 


Produksi BSPC dan PMC pada tahun 2021 mencapai 2,5 juta metrik ton, menghasilkan pendapatan sekitar USD 74,8 juta dengan EBITDA USD 33 juta. 


Pada periode sembilan bulan hingga September 2021, BCR berhasil mencatatkan pendapatan sebesar USD 44,1 juta dengan EBITDA senilai USD 20,4 juta. Dengan asumsi akuisisi BCR oleh IATA terlaksana pada Januari 2021, laporan IATA untuk September 2021 akan menghasilkan pendapatan USD 51,4 juta dengan EBITDA sebesar USD 20,4 juta, daripada pendapatan sebesar USD 7,2 juta dengan kerugian EBITDA USD 54,8 ribu. 


Laporan asumsi laba rugi tersebut akan jauh lebih baik lagi untuk periode tahunan 2021 dan pastinya akuisisi BCR dinilai sangat bermanfaat bagi IATA. Akuisisi BCR menjadi lebih menarik karena sembilan IUP milik BCR yang telah disebutkan sebelumnya akan diakuisisi dengan nilai USD 140 juta, 23% lebih rendah dari valuasi BSPC dan PMC. 


Pada 2022, BCR telah memperoleh ijin untuk meningkatkan produksi hingga 8 juta metrik ton. Dengan estimasi harga batubara terus menguat dan target produksi tersebut tercapai, kinerja keuangan IATA tahun 2022 diperkirakan akan sangat baik, dengan ekspektasi peningkatan pendapatan hingga 3x lipat dari tahun 2021, setelah mengalami kerugian sejak tahun 2008.