EmitenNews.com - Para pelaku kejahatan korupsi, terorisme, dan narkoba, boleh bernapas lega kini. Mahkamah Agung mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 terkait pengetatan remisi bagi pelaku korupsi, terorisme dan narkoba dikabulkan. Permohonan judicial review dilayangkan Subowo, mantan kepala desa yang kini menjadi warga binaan Lapas Klas IA Sukamiskin Bandung bersama lima temannya.


Dalam keterangannya kepada pers, seperti dikutip Ahad (31/10/2021), Juru Bicara MA Hakim Agung Andi Samsan Nganro, mengungkapkan, putusan dikabulkannya hak uji materiil itu. Dengan adanya putusan tersebut, para koruptor, terorisme dan pelaku narkoba, memiliki hak remisi sama halnya dengan napi lain. Sebelumnya mereka hanya bisa mendapatkan remisi dengan syarat lebih ketat.


Mahkamah Agung (MA) mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor. Putusan atas perkara Nomor 28 P/HUM/2021 itu, diketuai Majelis hakim Prof. H. Supandi, serta Hakim Anggota Majelis Yodi Martono dan Is Sudaryono.


Untuk menguji konsideran, Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43 A ayat (1) huruf (a), Pasal 43A ayat (3) PP No. 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan TERHADAP Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.


Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar memenjarakan pelaku agar jera, tetapi usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice (model hukum yang memperbaiki). Dalam konteks ini, narapidana bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya. Mereka sewaktu-waktu dapat melakukan kekhilafan yang dapat dikenakan pidana sehingga tidak harus diberantas.


“Yang harus diberantas, menurut majelis hakimm adalah faktor-faktor penyebab narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum," kata Andi Samsan Nganro.


Berdasarkan filosofi pemasyarakatan tersebut, kata Andi, rumusan norma yang terdapat dalam peraturan pelaksanaan UU No. 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice.


"Berkaitan dengan hal tersebut, sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Artinya, berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan hak-nya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan," tuturnya.


Persyaratan untuk mendapatkan remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan serta harus mempertimbangkan dampak overcrowded di Lapas. Syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana, seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk (reward) berupa pemberian hak remisi tambahan di luar hak hukum yang telah diberikan.


"Sebab segala fakta hukum di persidangan termasuk terdakwa yang tidak mau jujur mengakui perbuatannya serta keterlibatan pihak lain dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang memberatkan hukuman pidana," kata Andi Samsan Nganro. ***