EmitenNews.com - Aktivitas sebagian besar pelaku pasar bersiap menyambut libur akhir tahun dan melakukan penyesuaian portofolio atau window dressing, masih ada juga sekelompok investor yang terjebak dalam kecemasan.

Bukan karena harga saham mereka turun, melainkan karena tidak bisa melakukan apa-apa. Saham yang mereka miliki sedang terkena "gembok" regulator alias disuspensi. Uang mereka tertahan, likuiditasnya mati, dan nasib investasinya terkatung-katung tanpa kejelasan kapan perdagangan akan dibuka kembali.

Sebagai seorang pengamat yang telah melalui berbagai siklus pasar, dari booming komoditas hingga era teknologi digital, saya melihat bahwa mekanisme suspensi perdagangan saham khususnya yang diakibatkan oleh volatilitas harga atau Unusual Market Activity (UMA) adalah sebuah instrumen regulasi yang sudah usang. Alih-alih melindungi investor, mekanisme ini dalam banyak kasus justru merugikan kepentingan ritel dan menghambat proses pendewasaan investor di pasar modal Indonesia.

Opini saya sangat tegas bahwa sudah saatnya otoritas bursa mempertimbangkan untuk meniadakan suspensi saham yang berbasis volatilitas harga, dan membiarkan mekanisme pasar bekerja sebagaimana mestinya.

Likuiditas Adalah “Hak Asasi” Investor

Mari kita kembali ke definisi paling mendasar dari pasar modal. Orang berinvestasi pada saham berbeda dengan properti atau private equity, karena satu alasan utama yakni likuiditas. Investor membeli saham karena tahu bahwa kapan pun mereka membutuhkan uang tunai atau ingin mengubah strategi investasi, bisa menjual aset tersebut dalam hitungan detik selama jam perdagangan berlangsung. Likuiditas adalah "nyawa" dari pasar saham.

Ketika otoritas bursa melakukan suspensi atau penghentian sementara perdagangan terhadap suatu saham karena harganya naik terlalu tinggi atau turun terlalu jauh dalam waktu singkat, otoritas tersebut pada dasarnya sedang mencabut hak asasi investor atas likuiditas tersebut.

Bayangkan Anda adalah seorang pedagang kecil yang butuh uang tunai untuk keperluan mendesak, namun toko Anda digembok paksa oleh pengelola pasar hanya karena dagangan Anda terlalu laris atau harganya terlalu fluktuatif. Ini adalah bentuk intervensi yang tidak adil.

Suspensi saham membuat dana investor tersandera. Dalam banyak kasus yang kita lihat sepanjang tahun 2025 ini, suspensi bisa berlangsung dari satu hari hingga berbulan-bulan. Selama masa itu, investor dipaksa menjadi pemegang saham pasif. Mereka tidak bisa memotong kerugian (cut loss) jika menyadari analisanya salah, dan juga tidak bisa merealisasikan keuntungan (take profit) jika merasa harga sudah cukup tinggi.

Menghapus suspensi berarti mengembalikan kedaulatan penuh kepada pemilik modal untuk menentukan nasib uangnya, kapan pun mereka mau.

Mendorong Kedewasaan dan Manajemen Risiko Investor

Salah satu argumen klasik yang sering digunakan untuk mempertahankan mekanisme suspensi adalah perlindungan investor. Logikanya, dengan menghentikan perdagangan, regulator memberi waktu bagi investor untuk "mendinginkan kepala" dan berpikir rasional. Namun, dalam praktiknya, mekanisme ini justru menciptakan mentalitas "anak manja" atau nanny state di kalangan investor.

Keberadaan suspensi saham sering kali dijadikan "jaring pengaman" semu oleh para spekulan. Mereka berani membeli saham-saham gorengan dengan fundamental buruk secara membabi buta karena berpikir regulator akan turun tangan jika terjadi sesuatu yang ekstrem.

Jika suspensi ditiadakan, maka setiap investor dipaksa menyadari bahwa tidak ada yang akan menyelamatkan mereka di pasar. Jika membeli saham yang harganya naik 100% dalam sehari tanpa alasan jelas, mereka harus siap menanggung risiko saham tersebut turun 90% keesokan harinya tanpa ada jeda istirahat.

Penghapusan suspensi akan menjadi "guru" yang kejam namun efektif. Hal ini akan memaksa investor, terutama pemula, untuk belajar melakukan uji tuntas (due diligence) yang benar. Mereka akan dipaksa membaca laporan keuangan, memahami model bisnis perusahaan, dan yang terpenting, belajar disiplin dalam mengatur risiko atau money management.

Investor akan berpikir dua kali sebelum mempertaruhkan seluruh uangnya pada saham yang sangat volatil jika mengetahui perdagangan tidak akan pernah dihentikan oleh wasit. Kita membutuhkan investor cerdas dan mandiri, bukan investor yang terus-menerus bergantung pada perlindungan regulator yang bersifat artifisial.

Mitos "Cooling Down" dan Realita Kepanikan Pasar