EmitenNews.com - Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia bulan Juni tercatat di level 50,2.


Meski melambat dibandingkan PMI Manufaktur bulan sebelumnya, Mei 2022 sebesar 50,8, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menilai angka ini masih berada pada zona ekspansif yang menunjukkan sektor manufaktur Indonesia melanjutkan kinerja yang positif.


Febrio beralasan gejolak geopolitik serta perlambatan ekonomi dunia, khususnya di Tiongkok, mengganggu rantai pasok global dan menghambat laju ekspansi manufaktur Indonesia. Namun hal ini juga dialami oleh sebagian besar negara di kawasan Asia, termasuk Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Vietnam, Thailand, dan Filipina.


“Pemerintah akan terus memonitor dinamika dan prospek ekonomi global ke depan serta memitigasi berbagai dampak yang mungkin timbul. Berbagai instrumen yang ada, termasuk APBN, akan dioptimalkan untuk meminimalisasi dampaknya pada perekonomian domestik. Dengan demikian, momentum pemulihan ekonomi nasional terjaga,” kata Febrio dilansir dari laman Kementerian.


Di sisi lain, Kepala BKF mengungkapkan inflasi Indonesia pada Juni 2022 masih tergolong moderat dibandingkan dengan negara-negara lain. Adapun inflasi Juni 2022 masih terjaga di level 4,35 persen (year on year/yoy).


“Dibandingkan dengan banyak negara di dunia, inflasi Indonesia masih tergolong moderat. Laju inflasi di Amerika Serikat dan Uni Eropa terus mencatatkan rekor baru dalam 40 tahun terakhir, masing-masing mencapai 8,6 persen dan 8,8 persen,” ujarnya.


Laju inflasi yang tinggi juga terjadi di sejumlah negara berkembang, seperti Argentina dan Turki, dengan inflasi masing-masing mencapai 60,7 persen dan 73,5 persen.


“Pemerintah, melalui instrumen APBN, berhasil meredam tingginya tekanan inflasi global, sehingga daya beli masyarakat serta momentum pemulihan ekonomi nasional masih tetap dapat dijaga,” jelas Febrio.


Menanggapi hal tersebut, Pemerintah tetap terus memantau dan memitigasi berbagai faktor yang akan berpengaruh pada inflasi nasional, baik yang berasal dari eksternal maupun internal. Dalam hal inflasi di bulan Juni yang mengalami peningkatan, utamanya disebabkan oleh kenaikan harga pangan bergejolak (volatile food) yang signifikan mencapai 10,07 persen (yoy) (Mei 6,05 persen).


Mengantisipasi kenaikan harga komoditas pangan, Pemerintah secara konsisten berupaya menjaga agar peran APBN sebagai shock absorber dapat berfungsi optimal untuk mengendalikan inflasi, menjaga daya beli masyarakat, serta menjaga pemulihan ekonomi.


Upaya Pemerintah dalam menjaga stabilitas harga pangan di antaranya melalui pemberian insentif selisih harga minyak goreng, pelarangan sementara ekspor CPO dan turunannya untuk menjaga pasokan dengan harga terjangkau, serta mempertahankan harga jual BBM, LPG, listrik (administered price) tidak mengalami peningkatan.


“Ini semua diharapkan dapat menjaga kecukupan pasokan, kelancaran distribusi serta keterjangkauan harga pangan pokok sehingga dapat melindungi daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah,” lanjutnya.


Peran APBN 2022 sebagai shock absorber juga diimplementasikan dalam menjaga harga energi domestik agar tetap stabil melalui alokasi subsidi energi dan kompensasi yang mencapai Rp502,4 triliun.


“Subsidi dan kompensasi energi diberikan untuk menjaga stabilisasi harga, melindungi daya beli serta menjaga momentum pemulihan ekonomi. Mengingat energi merupakan kebutuhan pokok, kebijakan subsidi energi ini vital bagi proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung,” tutup Febrio.(fj)