EmitenNews.com - Untuk kelima kalinya Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75% pada Juni 2023. Seiring dengan itu, suku bunga Deposit Facility masih ditahan di level 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%. BI fokus pada penguatan stabilisasi nilai rupiah untuk mengendalikan inflasi, selain memitigasi dampak ketidakpastian keuangan global.


Dalam siaran pers, Kamis (22/6/2023), Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, keputusan mempertahankan BI7DRR sebesar 5,75% ini konsisten dengan stance kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran sasaran 3,0±1% pada sisa tahun 2023.

 

"Fokus kebijakan diarahkan pada penguatan stabilisasi nilai rupiah untuk mengendalikan inflasi barang impor (imported inflation) dan memitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global," lanjutnya.

 

BI mencatat, saat ini ketidakpastian perekonomian global kembali meningkat, dengan kecenderungan risiko pertumbuhan yang melambat dan kebijakan suku bunga moneter di negara maju yang lebih tinggi.

 

BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan mencapai 2,7% (year-on-year/yoy) dengan risiko perlambatan terutama di Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.

 

Dalam siaran pers, BI menyebutkan, di AS, tekanan inflasi masih tinggi terutama karena keketatan pasar tenaga kerja, di tengah kondisi ekonomi yang cukup baik dan tekanan stabilitas sistem keuangan (SSK) yang mereda, sehingga mendorong kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate (FFR) ke depan.

 

Kebijakan moneter juga masih ketat di Eropa, sedangkan di Jepang masih longgar. Sementara itu, di Tiongkok pertumbuhan ekonomi juga tidak sekuat prakiraan di tengah inflasi yang rendah, sehingga mendorong pelonggaran kebijakan moneter. Pemulihan ekonomi di negara berkembang lain, seperti India, tetap kuat didorong oleh permintaan domestik dan ekspor jasa.

 

"Kondisi ekonomi di negara maju dan berkembang tersebut mendorong nilai tukar dolar AS cenderung melemah terhadap mata uang negara maju, tetapi menguat terhadap mata uang negara berkembang. Perkembangan tersebut memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi risiko rambatan terhadap ketahanan eksternal di negara berkembang, termasuk Indonesia," urai BI dalam siaran persnya. ***