OJK Ambil Alih Pengawasan Aset Kripto, Apa Kata Pakar Ekonomi Digital?

Ilustrasi aset crypto (Foto: 123rf / dimarik16)
“Di Bappebti sendiri mindset yang digunakan adalah perdagangan bursa berjangka komoditas dan dilihat sebagai komoditas. Sedangkan OJK saya rasa akan menggunakan pendekatan investasi,” ucapnya.
Perlu diketahui bahwa perbedaan utama antara OJK dan Bappebti dalam menangani kripto terletak pada struktur dan fokus lembaga. Sebelumnya Bappebti berada di bawah naungan Kementerian Perdagangan (Kemendag), dengan tujuan mengatur transaksi kripto dalam kerangka perdagangan aset atau barang.
Sementara OJK merupakan lembaga independen yang bertugas mengawasi sektor jasa keuangan, dengan fokus yang lebih luas. Tak hanya itu, OJK juga memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, memastikan transparansi, serta melindungi kepentingan investor dan konsumen di pasar yang berkembang pesat ini.
Hal ini juga mencerminkan perubahan dalam cara pandang terhadap kripto, dari sekadar instrumen spekulatif menjadi bagian dari portofolio investasi yang lebih terstruktur. Sekaligus menuntun ketatnya hukum yang perlu dijalankan kedepannya oleh OJK.
“Ini menarik melihat perubahan paradigma dasar ini. Saya berharap perubahan ini smooth dan tidak menimbulkan gejolak pasar kripto. Bagi industri mungkin akan lebih ketat secara peraturan, tapi untuk investor akan lebih diuntungkan dengan (pengalaman) dari OJK,” tambahnya.
Regulasi Diperketat?
OJK menerbitkan POJK 27/2024, yang mengadopsi Peraturan Bappebti dengan berbagai penyempurnaan yang diperlukan berdasarkan standar best practices. Beberapa pengaturan yang disempurnakan banyak di sektor jasa keuangan.
POJK 27/2024 mengatur pengaturan lembaga yang menyelenggarakan perdagangan aset kripto, serta pengaturan lebih rinci mengenai teknis dan prosedur operasional yang harus diikuti oleh pelaku usaha. Menanggapi regulasi ini, Huda melihat di POJK tersebut juga terdapat persoalan bursa kripto yang memang ditunggu-tunggu kehadirannya.
“Terkait peraturan yang sudah dikeluarkan, saya rasa keluarnya aturan terbaru dari OJK dan PP terkait peralihan sesuatu yang positif. Meskipun secara timeline memang telat keluarnya PP,” ucap Huda, mengomentari waktu penerbitan POJK 27/2024.
Namun ia menyambut positif regulasi terbaru ini, karena memberikan kepastian bagi dunia usaha yang terkait dengan aset kripto. Namun demikian, ia mengakui memang masih ada berbagai perdebatan yang sebetulnya masih bisa disempurnakan.
Terutama ia masih khawatir peralihan kewenangan membuat peraturan pada industry pasar kripto akan jauh lebih ketat daripada sebelumnya. Melihat industri kripto merupakan industri yang baru meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
“Karakteristik industri kita masih menginginkan peraturan yang tidak terlampau ketat, terlebih ini industri digital yang sarat akan inovasi,” ucapnya.
Menurutnya peraturan yang sangat ketat akan membuat industri tidak fleksibel dan terkekang untuk berkembang. Maka perlunya fokus perlindungan investor yang bersamaan dengan hadirnya pengaturan industri yang sesuai dengan kondisi industri dan pemainnya.
Nasib Konsumen di Tangan OJK?
Jika mengamati regulasi yang sebelumnya pernah dikeluarkan OJK dalam melindungi konsumen di sektor jasa keuangan, maka jawabannya adalah POJK Nomor 22 Tahun 2023. Regulasi ini memberikan kepastian hukum dan perlindungan konsumen dalam transaksi aset kripto.
Ada dua hal yang menurut Huda perlu dampak peralihan kewenangan. Yang pertama bagi investor tentu memberikan dampak positif terhadap perlindungan investor. Sedangkan untuk perkembangan industri, ada kepastian berusaha yang lebih perlu dimaksimalkan.
“Di POJK tentang IAKD sudah sangat jelas pengaturan mengenai Bursa Kripto ini sebenarnya. Ini yang kita dorong untuk segera diimplementasikan secara optimal,” ujarnya.
Related News

Skenario Pemulihan IHSG: Kapan Investor Bisa Optimis Lagi?

Bursa Saham AS Ambruk, Sektor Ini Malah Naik

Mengapa Ekonomi China Kuat?

Prospek IHSG Kedepannya Berpotensi Cerah, Ini Alasannya

Sawit dan Batu Bara Jadi Pedang Bermata Dua Menuju Masa Depan Bersih

Strategi Indonesia Hadapi Kebijakan Trump: Diplomasi atau Konfrontasi?