EmitenNews.com - Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menetapkan peringkat idAAA (gg) atas rencana obligasi Waskita Karya (WSKT) maksimum Rp2,7 triliun, dan idAAA(sy)(gg) untuk rencana sukuk maksimum Rp1,1 triliun. 


Sekitar Rp827 miliar dari rencana obligasi dan/atau sukuk itu, akan dijamin PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) atas nama Pemerintah Indonesia. Lalu, sisanya dijamin Pemerintah RI. Hasil penerbitan surat utang itu, untuk melunasi obligasi jatuh tempo tahun ini, dan modal kerja. 


Saat bersamaan, Pefindo menegaskan peringkat Waskita Karya, dan obligasi berkelanjutan II, obligasi berkelanjutan III, dan obligasi berkelanjutan IV dengan idBBB, dan obligasi III idAAA(gg). Prospek peringkat perusahaan direvisi menjadi stabil karena hasil penerbitan obligasi, dan sukuk secara efektif mengurangi risiko pembiayaan kembali jangka pendek terkait obligasi akan jatuh tempo pada 2022.


Obligor berperingkat idBBB memiliki kemampuan memenuhi komitmen keuangan jangka panjang. Meski begitu, kemampuan obligor lebih mungkin akan terpengaruh perubahan buruk keadaan, dan kondisi ekonomi. Efek utang berperingkat idAAA merupakan peringkat tertinggi. 


Kemampuan emiten memenuhi kewajiban jangka panjang atas efek utang tersebut superior. Akhiran (sy) pada suatu peringkat mengindikasikan pemenuhan prinsip syariah. Akhiran (gg) pada suatu peringkat menunjukkan ada pertimbangan keamanan berbentuk garansi dari pemerintah.


Peringkat itu, mencerminkan peran penting Waskita Karya kepada pemerintah, posisi pasar kuat sektor konstruksi, dan keuntungan sebagai perusahaan konstruksi milik negara. Namun, peringkat dibatasi profil likuiditas lemah, leverage keuangan tinggi, dan lingkungan bisnis cukup fluktuatif pada industri konstruksi.


Peringkat dapat dinaikkan kalau perusahaan memperbaiki leverage keuangan, dan rasio cakupan utang secara berkelanjutan didukung backlog kontrak kuat memberi visibilitas pendapatan selama beberapa tahun mendatang. Peringkat dapat dilorot kalau terjadi penurunan tingkat dukungan pemerintah kepada perseroan. Akses jauh lebih lemah ke sumber pendanaan eksternal, terutama bank-bank milik pemerintah.


Akses lebih lemah ke pendanaan eksternal juga akan membuat perseroan menghadapi risiko likuiditas, dan pembiayaan kembali lebih tinggi. Peringkat juga dapat diturunkan kalau terjadi penurunan pencapaian kontrak baru secara substansial, berdampak pada visibilitas pendapatan perseroan tidak memadai. (*)