EmitenNews.com - Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pendirian kelompok kerja untuk pengembangan energi bersih di Indonesia. MoU ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana bersama Assistant Secretary of Commerce dan Director General of the U.S. and Foreign Commercial Service, U.S. Department of Commerce Arun Venkataraman, di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Kamis (16/3).


Rida menyampaikan bahwa MoU Clean Energy Working Group akan menjadi dasar dari kerja sama serta mendorong dan mempromosikan kerja sama bilateral di bidang energi bersih.


"MoU ini akan menjadi dasar hubungan kerjasama serta mendorong dan mempromosikan kerjasama bilateral di bidang energi bersih dan terbarukan di Indonesia. Ini akan mencakup berbagai bidang, seperti CCUS, keamanan siber, teknologi SMR, panas bumi, bioetanol, dan teknologi kota pintar untuk ibu kota baru, Ibu Kota Negara (IKN)," jelasnya.


Kerja sama ini akan menggantikan MoU Power Working Group yang sebelumnya ditandatangani pada 2015. Pemerintah Indonesia akan menggunakan Working Group ini untuk mendukung tujuan elektrifikasi dan pembangunan ketenagalistrikan Indonesia, dengan fokus awal untuk membantu Indonesia mencapai 23% bauran energi dari EBT pada tahun 2025 dan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.


"Untuk menindaklanjuti penandatanganan ini, Pemerintah Indonesia mengundang badan usaha Amerika Serikat untuk berkolaborasi, tidak hanya untuk investasi tetapi juga meningkatkan teknologi transisi energi di Indonesia," jelas Rida.


Dari sisi regulasi, Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 yang telah dikeluarkan, adalah wujud komitmen Pemerintah dalam upaya percepatan pengembangan EBT secara nasional.


Selain pengembangan EBT, peran komoditas mineral pada transisi energi juga tidak kalah penting. Pemerintah Indonesia juga akan memprioritaskan komoditas mineral dalam negeri untuk proyek transisi energi, antara lain fasilitas energy storage, baterai kendaraan listrik, dan hilirisasi industri mineral.


"Indonesia memerlukan dukungan bagaimana bisa melakukan hilirisasi dari mineral kritis. Hilirisasi yang itu semua dikaitkan dengan transisi energi. Dari sisi demand ada percepatan penggunaan kendaraan bermotor listrik yang di dalamnya ada penggunaan baterai, yang mengandung logam kritis yang ada sumber dayanya di Indonesia," tutur Rida.


Kesepakatan lain dari MoU ini, harap Rida, akan adanya aliran investasi dan terciptanya lapangan kerja baru. Bersamaan dengan itu, Kementerian ESDM terus mengembangkan dan memperbaiki proses bisnis, termasuk di dalamnya penyederhanaan perizinan.


"Selain peningkatan investasi, kepastian dalam dukungan pembiayaan diperlukan dalam rangka mencapai target NZE 2060. Tidak hanya Amerika Serikat, beberapa negara maju lain turut berperan serta khususnya dalam kerangka JETP, seperti Jerman, Jepang, dan Norwegia, sesuai hasil KTT G20 yang diselenggarakan tahun lalu," tandasnya.


Sebagai informasi, MOU Clean Energy Working Group merupakan MoU terkait pendirian kelompok kerja untuk pengembangan energi bersih di Indonesia, MoU ini akan menggantikan MOU Indonesia - Amerika Serikat terkait Power Working Group for Indonesia yang telah ditandatangani pada tahun 2015 dan hanya terfokus pada isu ketenagalistrikan, pada masa itu program 35 GW.


Adapun bidang kerja sama yang tercakup dalam MoU Clean Energy Working Group adalah super grid dan/atau smart grid, pengurangan penggunaan pembangkit diesel, Teknologi Small Modular Reactor (SMR), cyber security, Carbon Capture and Utilization Storage (CCUS); microgrid, digitalisasi, energy storage, smart city, efisiensi pembangkit, bioethanol, dan panas bumi.


MoU ini dapat menjadi payung kerja sama Kementerian ESDM dan U.S. Department of Commerce dengan fokus awal untuk membantu Indonesia mencapai tujuan 23% kontribusi jaringan energi terbarukan pada tahun 2025 dan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.(*)