EmitenNews.com - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani menyebutkan dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor energi, PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) mengalami kerugian dalam jumlah cukup besar.


"Untuk Pertamina tadi kita lihat arus kas defisitnya estimasinya mencapai 12,98 miliar dolar AS (Rp191,2 triliun)," kata Menkeu dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Banggar DPR RI, Kamis (19/5/2022).


Menurut Menkeu hal itu tak terlepas dari lonjakan harga komoditas energi, yakni batu bara dan minyak mentah yang jadi bahan baku produksi kedua BUMN tersebut.


Meski lonjakan harga komoditas memberi tekanan kepada Pertamina dan PLN, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi, tidak sependapat dengan wacana yang berkembang agar pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL).


"Komoditi strategis (seperti) minyak (BBM), beras, listrik (TDL) seharusnya memang tetap disubsidi, karena terkait kebutuhan dasar rakyat," kata Qosasi.


Menurut politisi Partai Demokrat yang kini menjabat anggota BPK periode 2014-2024 dicabutnya subsidi BBM, hanya mengalihkan risiko ke Pertamina. Sehingga kerugian yang diderita Pertamina sejatinya bukan hanya salah Pertamina.

"Dia menanggung beban yang seharusnya menjadi beban negara," jelasnya.


Untuk PLN, Achsanul Qosasi mengingatkan terkait kebijakan kompensasi sejak 2017 terhadap pelanggan 900 VA sudah tidak lagi menerima subsidi. Pada saat bersamaan, pemerintah menunda kenaikan TDL, ditambah diskon tarif 100% dan pembebasan abonemen. Di sisi lain, Pemerintah belum membayar kompensasi tersebut, sehingga PLN pun kesulitan cashflow.


"Untuk Bulog, hampir sama. Bulog sebagai perum diminta berdagang layaknya Persero yg wajib Untung. Padahal Bulog adalah Badan penyangga stabilitas pangan," tandasnya.


Alhasil, Bulog pun harus pinjam ke Bank dengan bunga Komersial untuk memenuhi Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Karena pemerintah belum membayar kepada Bulog.


"Jadi, kembalikan mereka (Pertamina, Bulog, PLN) sebagai badan negara yang menyangga kepentingan dan kebutuhan dasar rakyat," tegasnya.


Menurut Qosasi BPK-RI sudah menghitung setiap tahun ketiga BUMN atau badan negara itu hak mereka yang harus segera dibayar pemerintah. "Jika tidak segera dibayar, mereka akan defisit Cashflow dalam menjalankan bisnisnya," pungkasnya.(fj)