EmitenNews.com -Belakangan ini pertumbuhan ekonomi Vietnam tengah menjadi sorotan, khususnya di tingkat regional, karena mengalami peningkatan signifikan dibandingkan negara-negara tetangganya di Asia tenggara. Berdasarkan data World Bank dalam 10 tahun terakhir rata-rata pertumbuhan ekonominya mencapai 6,05%, didukung oleh peningkatan investasi, ekspansi konsumsi domestik, ekspor, hingga pertumbuhan sektor manufaktur. Tidak hanya itu, para analis dan ekonom bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi Vietnam akan tetap tumbuh sekitar 6,7-7% pada tahun 2025, hal ini juga didukung oleh prediksi World Bank dengan perkiraan pertumbuhan sebesar 6,8% pada tahun ini.

Sementara data yang sama menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam satu dekade terakhir hanya mencapai 4,21%. Padahal Vietnam dan Indonesia punya kemiripan etnis, geografis, dan sejarahnya pun mirip yakni sama-sama pernah dijajah dan kini sama-sama dilirik menjadi negara destinasi investasi diantaranya oleh Nvidia dan Apple.

Dalam 8 tahun terakhir Nvidia telah menginvestasikan USD 250 juta (Rp 3,9 triliun). Pada April 2024, Nvidia juga dikabarkan akan membangun pusat AI di Indonesia dengan investasi Rp3 triliun, namun tidak ada kabar lebih lanjut mengenai hal ini.

Begitu juga dengan Apple yang berinvestasi di Vietnam sebesar USD 15,8 miliar (Rp 258 triliun), jauh lebih besar dari jumlah investasinya ke Indonesia yang hanya sebesar USD 100 juta (Rp 1,6 triliun). Apple bahkan memperluas operasinya secara signifikan di Vietnam dengan terus menambah jumlah mitranya hingga saat ini mencapai 35 vendor. Perluasan ini membuat Vietnam sebagai pusat pemasok Apple terbesar keempat di dunia setelah China (158 vendor), Taiwan (49 vendor), dan Jepang (44 vendor). Tidak hanya Nvidia dan Apple tapi juga Samsung, Canon, dan Nike juga sudah melakukan investasi di Vietnam.

Padahal ketika awal reformasinya, Vietnam merupakan negara agraris yang tertinggal dengan skala ekonomi kecil dan PDB hanya sebesar USD 26,3 miliar. Tapi sejak 2008, Vietnam sudah berhasil keluar dari negara berpenghasilan rendah. Skala ekonomi Vietnam mencapai USD 430 miliar, menempati urutan ke-35 di antara 40 ekonomi terbesar di dunia.

Tercatat PDB per kapita Vietnam mencapai USD 4.300 pada 2023, meningkat hampir 58 kali lipat dibandingkan tahun 1980-an saat Vietnam pertama kali melakukan reformasi ekonomi. Vietnam kini juga menjadi mitra dagang terbesar ke-22 di dunia dengan total omset impor-ekspor mencapai USD 700 miliar pada 2023.

Lalu apa yang menyebabkan ekonomi Vietnam melesat?

Sama seperti negara Asia Tenggara lainnya, ekonomi Vietnam juga sangat bergantung pada Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi asing. Berdasarkan laporan investasi ASEAN 2024, aliran masuk FDI ke negara-negara ASEAN di tahun 2021-2023 mencapai USD 236 miliar (sekitar Rp3.682 triliun) per tahunnya. Hal ini terjadi pasca terjadinya ketegangan geopolitik antara China dan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump jilid 1, yang menyebabkan para investor Barat mencoba mengurangi ketergantungan mereka pada China dan mengalihkannya ke negara-negara ASEAN. Vietnam berhasil memanfaatkan kesempatan ini untuk menarik banyak FDI, karena kedekatan demografis dan budaya yang serupa dengan China.

Dalam dunia bisnis investor global ada satu strategi yang dikenal dengan “China Plus One” yang artinya mengurangi ketergantungan terhadap pasar dan rantai pasokan China dengan cara memperluas ke negara lain sambil tetap mempertahankan kehadiran di negara Asia tersebut. China tercatat merupakan mitra dagang terbesar Vietnam, dan sekaligus memainkan peranan penting terhadap sektor manufaktur Vietnam karena sebagian besar bahan baku berasal dari China. Lokasi Vietnam yang terletak di perbatasan selatan China dan juga menganut sistem pemerintahan komunis, menjadi salah satu faktor menarik di mata para investor asing yang berencana melakukan alih daya manufaktur ke negara Asia Tenggara di luar China. Bagi mereka yang sudah beroperasi di China, pindah ke Vietnam akan lebih mudah, begitu juga bekerja dengan orang Vietnam akan lebih familiar dibandingkan Malaysia atau Indonesia.

Indonesia sebenarnya memiliki strategi serupa yakni dengan Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus-law) yang diklaim dapat mempermudah masuknya investor dengan menciptakan iklim investasi yang lebih baik, menciptakan lapangan kerja, dan merampingkan birokrasi. Salah satu implementasinya adalah pembentukan Indonesia Investment Authority (INA) atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Pada saat itu jumlah realisasi FDI memang meningkat, tetapi kemudian Omnibus-law menuai protes karena dinilai merugikan buruh, sebelum kemudian akhirnya dicabut setelah Mahkamah Konstitusi menganggapnya inkonstitusional.

Regulasi yang mudah untuk buka usaha menjadi alasan tambahan mengapa Vietnam menarik di mata investor, seperti tidak ada minimum modal disetor. Sedangkan di Indonesia umumnya membutuhkan minimum modal disetor Rp10 miliar untuk membuka suatu usaha, belum termasuk investasi pada tanah dan bangunan. Begitu juga dengan PPH badan di Vietnam sebesar 20% dimana angka ini lebih rendah dibandingkan PPH badan di Indonesia sebesar 22%. Bahkan rasio investasi terhadap hasil yang diperoleh (Incremental Capital Output Ratio / ICRO) Vietnam tercatat sebesar 4,6 atau lebih baik dibandingkan Indonesia sebesar 6,6. Angka ini menunjukkan bahwa penggunaan modal di Vietnam lebih efisien daripada di Indonesia.

Vietnam juga memiliki lokasi strategis yang berada di jalur pelayaran utama sehingga memberikan keuntungan signifikan dalam perdagangan global, terutama akses ke Laut Cina Selatan. Vietnam juga terlibat dalam perjanjian perdagangan besar seperti Comprehensive and Progressive Agreement for Trans Pacific Partnership (CPTPP) dan EU-Vietnam Free Trade Agreement (EVFTA) yang memberikan eksportir Vietnam memiliki akses istimewa ke pasar utama.

Selain lokasi dan regulasi, Vietnam juga memiliki keunggulan dalam hal biaya produksi yang kompetitif karena gaji pekerja yang rendah yaitu sekitar USD 130-180 (Rp 2-3 juta), sementara di Indonesia sekitar USD 150-300 (IDR 2,5-4 juta). Bicara mengenai SDM, sebenarnya Indonesia dan Vietnam sama-sama memiliki bonus demografi yaitu jumlah penduduk usia produktif lebih banyak daripada usia non-produktif, sehingga bisa mendorong peningkatan produksi perkapita dan pertumbuhan ekonomi. Tercatat sejak tahun 2020 skor Human Capital Index (HCI) Vietnam sebesar 0,69 atau tertinggi di antara negara berkembang lainnya di Asia Tenggara. Semakin tinggi angka ini menunjukkan bahwa anak-anak telah mencapai kondisi ideal baik di indikator survival, kualitas pendidikan, dan kesehatan.