EmitenNews.com -Dalam peluncuran resmi Prasasti Center for Policy Studies di Djakarta Theater, Gundy Cahyadi, Research Director lembaga think tank baru ini, memaparkan analisis mendalam tentang tantangan ekonomi Indonesia. Data yang disajikan mengungkap fakta mengejutkan: selama dua dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi nasional terjebak di kisaran 5%.

"Angka 5% ini sebenarnya masih relatif baik di tengah perlambatan global. Bahkan Tiongkok sebagai raksasa ekonomi kini juga tumbuh di kisaran yang sama," jelas Gundy di hadapan ratusan undangan. Namun menurutnya, Indonesia membutuhkan lompatan besar untuk mencapai target pertumbuhan 8% yang dicanangkan pemerintah.

Analisis Prasasti menunjukkan, untuk mencapai target ambisius tersebut dibutuhkan investasi mencapai Rp13.000 triliun. "Jumlah ini setara dengan dua pertiga ukuran ekonomi Indonesia saat ini," papar Gundy sambil menampilkan proyeksi makro ekonomi di layar besar.

Faktor utama yang menghambat pertumbuhan, menurut kajian Prasasti, adalah rendahnya rasio penerimaan negara yang hanya mencapai 12% dari PDB. "Padahal negara tetangga seperti Kamboja sudah mencapai 18%. Ini menunjukkan potensi peningkatan yang besar," ujar mantan ekonom Bank DBS ini.

Gundy menjelaskan bahwa stagnasi ekonomi Indonesia selama 10 tahun terakhir tidak terlepas dari kondisi global yang menghadapi sejumlah tantangan. Mulai dari bencana kesehatan Pandemi Covid 19 hingga perang di Eropa Timur dan Timur Tengah. Berbagai tantangan itu mengubah lanskap ekonomi global dan mempengaruhi para pengambil kebijakan di ranah moneter. Inflasi dan suku bunga tinggi menjadi pemberat. "Ekonomi dunia memang sedang melemah. Tapi justru inilah saatnya kita melakukan terobosan," tegasnya dengan penuh keyakinan.

Untuk mendorong percepatan pertumbuhan, Prasasti akan fokus pada tiga program utama:
1. Kajian ekonomi triwulanan berbasis data
2. Forum dialog strategis dengan pemangku kepentingan
3. Pendampingan kajian dan analisa untuk isu dan topik spesifik

Direktur Eksekutif Prasasti Nila Marita menambahkan bahwa semua analisis dan rekomendasi kebijakan akan bersifat data-driven. "Kami tidak ingin bekerja berdasarkan asumsi, tapi fakta dan angka yang bisa dipertanggungjawabkan," tegasnya.

Sektor-sektor prioritas yang akan menjadi fokus kajian Prasasti meliputi program swasembada pangan, transisi energi, dan ketahanan air. "Ketiga bidang ini merupakan kunci untuk mencapai pertumbuhan berkualitas," jelas Nila.

Menariknya, kajian Prasasti juga mengungkap bahwa untuk mencapai pertumbuhan 8%, Indonesia perlu meningkatkan produktivitas tenaga kerja sebesar 3,5% per tahun. "Ini tantangan besar yang membutuhkan kolaborasi semua pihak," kata Gundy.

Di sisi fiskal, lembaga ini merekomendasikan reformasi sistem perpajakan dan perluasan basis pajak. "Rasio pajak kita masih terlalu rendah. Padahal dengan optimalisasi saja, potensi tambahan penerimaan bisa mencapai Rp500 triliun per tahun," papar Gundy.

Prasasti juga akan memantau implementasi program strategis pemerintah seperti Perumahan Nasional dan Sekolah Garuda. "Kami akan memberikan masukan konstruktif berdasarkan evidence-based research," janji Nila.

Dalam sesi tanya jawab, Gundy menekankan target 8% bukanlah hal mustahil. "Dengan kombinasi kebijakan yang tepat dan iklim investasi yang kondusif, Indonesia bisa menjadi salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di Asia," ujarnya.

Peluncuran kajian ekonomi Prasasti ini ditutup dengan komitmen untuk menerbitkan laporan berkala yang akan memantau perkembangan target pertumbuhan ekonomi. "Kami akan menjadi mitra yang akan memberikan masukkan konstruktif bagi pemerintah," kata Nila.

Sebagai catatan, Prasasti diinisiasi oleh sejumlah tokoh nasional dengan berbagai macam latar profesi. Lembaga ini digawangi ekonom, pengusaha papan atas, aktivis, hingga mantan pejabat. Lembaga ini diharapkan menjadi jembatan komunikasi, ruang berdialog, antara civil society, pelaku sektor riil dan para perumus kebijakan.

Board of Advisor Prasasti Burhanudin Abdullah menambahkan Prasasti didirikan sebagai respons atas kebutuhan akan ruang dialog yang netral dan berbasis ilmiah. "Prasasti bukan milik segelintir elite, melainkan wadah kolaborasi antara masyarakat sipil, akademisi, dan pemerintah," tegas mantan Gubernur Bank Indonesia ini.

Prasasti didukung oleh deretan nama besar seperti Hashim Djojohadikusumo (pengusaha dan politisi), Gandi Sulistiyanto (pengusaha), serta Ellyus Achiruddin dan Prijono Sugiarto dari kalangan profesional. Komposisi ini menunjukkan upaya untuk menciptakan keseimbangan perspektif.

"Kita harus menjadikan dialog sebagai budaya baru dalam merumuskan kebijakan," tegas Burhanudin sembari menunjuk pentingnya pendekatan inklusif.